LAPORAN OBSERVASI JAWA BARAT
“KAMPUNG BUDAYA SINDANGBARANG & KAMPUNG ADAT URUG BOGOR”
Untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Matakuliah Agama Lokal
Dosen Pengampu : Siti Nadroh, M.A.
Disusun Oleh :
Shabrina Ghaisani
Misbahul Huda
Rexy Oktaviani
Mahfudloh
Fauziah Gustapo
Wardah Humaeroh
Riky Setiawan
Mashlihatuz
Zuhroh
Dodi Mario
Akbar
|
:
11140321000051
:
11140321000053
:
11140321000059
:
11140321000065
:
11140321000067
:
11140321000070
:
11140321000075
:
11140321000078
:
11140321000080
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) JAKARTA
2016
|
|
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia
adalah Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa dan
budaya, serta kekayaan dibidang seni dan sastra.Semua sejalan dengan
keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan
potensi nasional.
Salah satu
ragam suku yang memiliki kekayaan budaya adalah Desa Sindangbarang.Desa ini
terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.Di desa ini
terdapat sebuah kampung budaya yang bernama Kampung Budaya
Sindangbarang.Kampung ini dahulu merupakan keraton tempat tinggal salah satu
isteri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda.
Rumah-rumah di
Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi yang
dilakukan para budayawan Sunda serta para kokolot Sindangbarang. Sebagai
perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur,
bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa
yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Berdasarkan
penjelasan di atas kami akan mencoba memberikan informasi lebih mendalam
tentang sejarah, upacara, kesenian, rumah adat dan juga peninggalan-peninggalan
lainnya yang masih terjaga di kampung Sindangbarang ini.
1.2
Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
objek dari penelitian ini adalah masyarakat etnis kampung Sindangbarang.Fokus
penelitian ini dibatasi pada masalah tradisi keagamaan masyarakat tersebut
dengan melihat tradisi agama.
Agar
pembahasan ini lebih terarah maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan
tersebut berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut :
1.
Bagaimana
sejarah kampung budaya Sindangbarang?
2.
Bagaimana
bentuk rumah adat kampung budaya Sindangbarang?
3.
Bagaimana
upacara-upacara kampung budaya Sindangbarang?
4.
Bagaimana
kesenian kampung budaya Sindangbarang?
1.3
Tujuan Observasi
Tujuan yang ingin dicapai dalamobservasi ini adalah untuk
mengetahui lebih jauh tentang gambaran kehidupan agama dan sosial masyarakat
etnis kampung budaya Sindangbarang.Penelitian ini juga ditunjukkan untuk
mengetahui lebih jauh perubahan sosial budaya yang terjadi dalam tradisi
mereka.
Adapun hasil observasi ini diharapkan dapat memiliki kegunaan yang
bersifat teoritik dan praktis.Secara teoritik, penelitian ini merupakan satu
sumbangan sederhana bagi pengembangan studi agama lokal, terutama karena observasi
ini mengkaji tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada pada etnis kampung
tersebut. Adapun secara praktis, penelitian ini akan memberikan pemahaman
terhadap masyarakat akan adanya kepercayaan yang ada di etnis kampung tersebut.
Disamping itu, observasi ini diharapkan memperkaya khazanah kepustakaan
mengenai kepercayaan yang di anut pada etnis kampung Sindangbarang ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan Observasi
Hari : Senin, 02 Mei 2016
Pukul : 13.00 WIB
Tempat : Kp. Sindangbarang Ds. Pasir Eurih
Kec. Tamansari Kab. Bogor
B.
Narasumber
Bpk. Maki (08567371489)
sebagai Ketua Adat Kampung Budaya Sindangbarang
1.1.
Sejarah Kampung Budaya Sindangbarang
Kampung
Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII.Keberadaan kampung ini tersurat dalam
dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor.Sindangbarang diyakini sebagai kerajaan bawahan Prabu Siliwangi
dengan Kutabarang sebagai ibukotanya.Sindangbarang merupakan keraton tempat
tinggal salah satu isteri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik
Mayang Sunda.Guru
Gantangan adalah putra dari Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang Sunda
yang dilahirkan dan dibesarkan di Sindangbarang, yang mana penguasa Sindangbarang
pada saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul.Di tempat ini
pula, zaman dahulu prajurit-prajurit Sunda ditempa agar siap membela kerajaan
dari segala marabahaya.Berlatar
sejarah tersebut, kini Sindangbarang menjelma menjadi kampung budaya yang
bertekad meneruskan kearifan lokal dari akar tradisi leluhur mereka.
Menyambangi
Kampung Budaya Sindangbarang seperti menemukan jejak kasepuhan Sunda yang telah
lama hilang.Pemandangan indah dan udara sejuk khas pegunungan di kaki Gunung
Salak menjadi daya tarik lainnya.Kampung budaya ini selalu terbuka bagi
siapapun yang ingin berkunjung dan mempelajari lebih dalam tentang tradisi
Sunda Bogor, sambil mencari tahu tentang sejarah kasepuhan Sunda Bogor di masa
lalu.
Berjarak
sekitar 5 km dari pusat Kota Bogor, Kampung Budaya Sindang Barang terletak di
Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.Meski jaraknya tidak
terlalu jauh dari pusat Kota Bogor.Menuju lokasi, pengunjung harus melewati
jalan yang berkelok, dan tidak ada angkutan umum yang melewati kawasan
tersebut.Banyak yang merekomendasikan untuk sampai ke lokasi lebih baik
menggunakan sepeda motor. Karena selain cepat, sepeda motor mampu menjamah
jalan kecil hingga sampai ke depan Kampung Budaya Sindang Barang.
1.2.
Rumah Adat Kampung Budaya Sindangbarang
Rumah-rumah
di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi
yang dilakukan para budayawan Sunda serta para kokolot Sindangbarang seperti
Anis Djati Sunda, Eman Sulaeman, dll dengan didukung oleh pemerintah Provinsi
Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Bogor. Tentu saja penduduk setempat juga turut
berperan dalam perkampungan ini.
Bahkan
Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi pun mengirimkan bantuan tenaga teknis untuk
“mendirikan” kembali perkampungan ini.Perkampungan ini memang pernah rusak
karena bencana alam dalam masa yang cukup panjang.Karena itulah, revitalisasi
dan rekontruksi perkampungan ini sangat diperlukan agar generasi muda Sunda
dapat mengenal dan melestarikan jati dirinya.
Sebagai
perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur,
bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa
yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Rumah
adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan fungsi itu diambil
dari pantun-pantun bogor.
a.
Imah Gede, zaman dulu
disebut rumah raja atau dalam adat jawa modelnya seperti keraton. Karena sudah
menjadi kampung budaya kemudian tempat tersebut disebut sebagai Imah Gede yang
sekarang menjadi tempat tinggal kepala adat kampung budaya Sindangbarang.
b.
Girang Serah,
yaitu rumah penasehat pimpinan atau penasehat raja. Kalau dalam kerajaan
disebut sungkleman silengser (Penasehat Raja).
c.
Tempat Kesenian,
tempat ini sangat penting sekali kedudukannya karena zaman dahulu seni
berfungsi untuk menghibur keluarga raja. Berbagai kesenian asli Sunda seperti
kesenian calung, berbagai tari tradisional, hingga angklung gubrag menjadi
hiburan menarik yang selalu dipentaskan di kampung budaya ini. Menariknya, di
atas panggung selalu tersedia satu set gamelan tatalu yang bisa dimainkan oleh
para tamu yang datang.
d.
Saung Lisung,
tempat menumbuk padi disana terdapat 2 lumbung padi yang digunakan ketika
upacaran penumbukan padi atau saat upacara Seren Taunan.
e.
2 Bangunan Pasanggrahan,
sebagai tempat istirahat para tamu adat yang datang untuk berkunjung. Dahulu
tamu tidak diperbolehkan menginap serumah dengan kepala adat. Jadi kepala adat
menyediakan rumah khusus bagi tamu adat yang datang.
f.
Bale Riungan,
yaitu sebagai tempat musyawarah mufakat ketika ada event-event tahunan. Juga
sebagai tempat berkumpul dan bermusyarawah masyarakat dengan ketua adat dan
para kokolot. Kokolot adalah mereka yang dianggap sebagai sesepuh kampung
Sindangbarang.
g.
Bale Pertirtaan,
biasanya digunakan sebagai tempat untuk menjamu para tamu yang baru datang.
Meski demikian, tidak jarang bangunan yang lebih mirip pendopo ini juga
digunakan sebagai tempat pameran pernak pernik hasil karya masyarakat
Sindangbarang dan berbagai acara internal tamu yang datang.
h.
2 Bangunan Tampian,
zaman dahulu kamar mandi tidak diperbolehkan berada di dalam rumah. Sebab dulu
ritual dilaksanakan terus-menerus jadi setiap hari rumah itu harus dalam
keadaan bersih.
i.
Tanjung Bale Agung,
kalau sekarang di sebut musholla sebagai tempat ibadah masyarakat kampung
Sindangbarang.
j.
3 bangunan Panengeun, rumah
para kokolot/pengelola rumah adat.
k.
6 bangunan Pangiwa.
1.3.
Upacara-upacara Kampung Budaya Sindangbarang
Pada awalnya upacara Seren Taun pada
masyarakat Sunda Wiwitan terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Seren Taun Kuara Bakti yang
dilaksanakan 8 tahun sekali,
2) Guru Beni yang dilaksanakan 4
tahun sekali,
3) Majetin Pare yang dilaksanakan
setelah panen padi.
Kemudian pada abad ke 16 kerajaan Padjadjaran
bubar lalu digantikan oleh pemerintahan islam. Untuk mengangkat kembali budaya
islam Seren Taun berubah menjadi sedekah bumi, yang awalnya di peringati dengan
memotong kepala kerbau atau kambing dan menguburnya. Kemudian para ulama
melakukan sedekah bumi dengan mengubah waktu peringatan Seren Taun pada bulan 1
muharram.
Jadi, perbedaan seren taunan pada
Banten, Cibubur, dan Sindangbarang yaitu kalau banten dan cibubur itu lebih
mengarah panen padi tetapi kalau sindang barang ini lebih ke peringatan tahun
baru islam yang terjadi pada 1 muharrom.
Upacara
Seren Taunan ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil
panen dan hasil bumi yang melimpah.Acara ini diselenggarakan dengan membawa
rengkong untuk mengangkut padi dan dongdang yang berisi sayur-sayuran dan
buah-buahan untuk di arak keliling kampung.Setelah itu hasil bumi diperebutkan
warga sekitar untuk mendapatkan berkah.Padi-padi kemudian disimpan di lumbung
padi atau leuit.Upacara ini merupakan tradisi yang paling ditunggu-tunggu
karena juga diiringi oleh pertunjukan lainnya seperti angklung gubrak, pencak
silat, dan parebut seeng.
Pelaksanaan Seren Taunan selama 3
haridianjurkan pada hari jum’at sampai minggu:
1.
Pada
malam jum’at para kokolot berkumpul melakukan ritual.
2.
Jum’at
pagi pengambilan air di 7 mata air yang diambil oleh para kokolot di iringi
dengan seni-senian.
3.
Jum’at
sore mengambil ikan di sungai. Berhubung karena ikan nya sekarang sudah tidak
ada jadi panitia menyiapkan ikan sebanyak 1 kwintal.
4.
Malam
sabtu yaitu siraman rohani dengan membacai air tersebut dengan ayat-ayat suci
5.
Sabtu
pagi yaitu sedekah kue
6.
Lugel
munding memotong kerbau. Pala, satu paha, dan jeroan kerbau dibagikan ke para
tamu. Yang selebihnya diberikan ke anak yatim dan janda.
7.
Sabtu
sore semua kesenian yang terdapat di kampung budaya ini di tampilkan
8.
Sabtu
malam hiburan adat sunda
9.
Minggu
pagi masyarakat membawa hasil panen yang mereka punya, lalu pemimpin upacara
ersebut berdoa. Setelah berdoa mereka memperebutkan hasil panen yang mereka
bawa.
1.4.
Kesenian Kampung Budaya Sindangbarang
Menjejak Kampung Budaya Sindangbarang seperti masuk ke mesin
waktu ke masa ratusan tahun lampau di mana kerharmonisan manusia dan alam masih
begitu lekat.Inilah perkampungan yang merepresentasikan jatidiri orang-orang
sunda, lengkap dengan tradisi budaya yang masih lekat dan dijunjung tinggi oleh
warganya.Di sini akan dengan mudah ditemui anak-anak yang sedang belajar
kesenian tradisional, ibu-ibu sibuk menumbuk padi dengan lesung atau memasak
dengan menggunakan hawu (tungku tradisional), dan para petani yang
sedang bekerja di sawah. Kehidupan yang sudah sangat sulit kita temui di zaman
modern ini.
Untuk melestarikan kesenian tradisional di kampung budaya,
maka diselenggarakan pelatihan tari dan gamelan untuk generasi muda secara
gratis oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda yang telah mahir di
bidang kesenian masing-masing maka akan dilibatkan dalam pementasan menyambut
tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka sendiri.Pelatihan
budaya ini dilaksanakan pada hari minggu dan tidak dipungut biaya sepeserpun
bagi masyarakat yang ingin mempelajari tentang kesenian Sindangbarang ini.
Di Kampung budaya Sindangbarang sendiri terdapat sekitar 8
macam kesenian Sunda yang telah direvitalisasi dan dilestarikan oleh para
penduduknya, antara lain yaitu: Seni Gondang,Parebut Se’eng,Kendang Pencak,
Seni Reog, Angklung gubrag, Rampak Gendang, Calung dan Jaipong.
1.5.
P
otret Acara Seren Taun
1.6. Dokumentasi
Kampung Budaya Sindangbarang
BAB
III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Setelah
pemaparan yang telah dipaparkan oleh peniliti, maka dapat disimpulkan:
a.
Sejarah
Kampung Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII. Keberadaan kampung ini tersurat dalam
dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor.
b.
Sebagai
perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur,
bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa
yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Rumah adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan fungsi itu
diambil dari pantun-pantun bogor.
c.
Upacara
yang ada di Sindangbarang salah satunya adalah Seren Taun, dimana waktu
pelaksanannya berbeda. Seren Taun ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang
Maha Kuasa atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah.
d.
Selain
ada upacara terdapat pula kesenian yakni adanyapelatihan tari dan gamelan untuk generasi muda secara gratis
oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda yang telah mahir di bidang
kesenian masing-masing akan dilibatkan dalam pementasan menyambut tamu yang
tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka sendiri.
1.2
Saran
Setiap masyarakat adat pasti memeiliki cirri khas yang melembaga
dalam ritual sehari-hari.Cirri-ciri tersebut telah menjadi identias yang harus
dihormati sebagai wujud pergulatan rasionalitas bagi penganutnya.Oleh karena
itu, tradisi keagamaan etnis kampung Budaya Sindangbarang hendaknya jangan
dipahami sekedar ritualitas belaka melainkan memiliki dimensi spiritualitas
yang mendalam yang harus diteliti, digali dan diungkapkan kepada masyarakat.
1.3
Referensi
Pram.2013. Suku
Bangsa Dunia dan Kabudayaan. Cet.1. Jakata: Cerdas Interaktif (Penebar
Swadaya Group).
BAB
IV
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada awalnya Kampung Adat adalah kumpulan beberapa desa yang
menggunakan adat sebagai pilar kehidupan bermasyarakat.Ada tersebut dijaga dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini.Kampung adat biasanya
terletak di kampung terpencil dan asing pada teknologi dan kehidupan
modern.Seiring berjalannya waktu dan melihat pada kepentingan umum, pemerintah
melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan keberadaan Kampung Adat
dan mencanangkan program pelestarian berdasarkan pendidikan dan penelitian pada
kampung-kampung adat tersebut.
Kampung adat secara resmi adalah Kampung Adat yang diakui dan
dilindungi oleh Negara.Salah satu Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat adalah
Kampung Adat Urug yang terletak di Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya
Kabupaten Bogor.
Kampung Urug merupakan salah satu Kampung Adat peninggalan Prabu
Siliwangi, di Kampung Urug ini masyarakatnya moyoritas beragama Islam.Namun,
mereka masih percaya terhadap leluhur dan menjalankan ritual-ritual sesuai
dengan ajaran nenek moyang.Di Kampung Urug ini ada tujuh upacara yang
dilaksanakan dua diantaranya di masjid dan selebihnya di Rumah Adat Urug
tersebut. Dalam laporan ini kami akan mencoba memaparkan hasil observasi mulai
dari awal mula berdirinya Kampung Adat Urug sampai kepada upacara-upacara adat
yang ada didalamnya.
1.2
Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, objek dari penelitian ini adalah Kampung Adat Urug di
Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor.Fokus penelitian ini
dibatasi pada masalah sejarah, upacara, peninggalan, rumah adat, dan keagamaan
di kampung adat tersebut.
Agar pembahasan
ini lebih terarah, maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan tersebut
berdasarkan pertanyaan-prtanyaan berikut:
1.
Bagaimana
sejarah Kampung Adat Urug?
2.
Apa
saja upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug?
3.
Bagaimana
bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug?
4.
Apa
peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug?
5.
Bagaimana
situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari observasiyang kita lakukan ini yaitu untuk :
1.
Mengetahui
bagaimanakah sejarah Kampung Adat Urug
2.
Mengetahui
bagaimana upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug
3.
Mengetahui
bagaimana bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug
4.
Mengetahui
tentang peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug
5.
Mengetahui
bagaiamana situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug.
BAB
V
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaa Observasi
Hari :
Jum’at-Minggu
Tanggal : 06 Mei 2016-08 Mei 2016
Tempat : Kp. Urug Ds. Kiara Pandak Kec. Sukajaya Kab. Bogor
B.
Narasumber
1. Abah Ukat Raja Aya (ketua Adat)
2. Abah Maman (Kepala Kampung)
3. Bapak Ujang (Tokoh Masyarakat)
1.1. Sejarah
Kampung Adat Urug
Kampung Urug adalah sebuah kampung adat yang terletak di
sebuah lembah yang subur dan masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara
Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.Kata Urug dijadikan nama kampung,
karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah
cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata
"Guru" berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim
dari digugu ditiru.Jadi seorang guru haruslah “digugu” dan “ditiru”, artinya
dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.
Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari
keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Padjajaran Jawa Barat. Bukti dari
anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa
konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau menemukan
sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah
satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan
Pajajaran.
Kampung Urug menurut Abah Kolot (Kepala Adat di Kampung Urug) yang dipercaya masih merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke-11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke-2, yang merupakan Raja ke-5 Kerajaan Padjajaran.Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran.
Kampung Urug menurut Abah Kolot (Kepala Adat di Kampung Urug) yang dipercaya masih merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke-11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke-2, yang merupakan Raja ke-5 Kerajaan Padjajaran.Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran.
1.2. UpacaraKampung
Adat Urug
Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini
masih melaksanakan berbagai upacara/ritual
adat yaitu diantaranya:
a. Muludan, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (tanggal 12
Rabbi’ul Awal). Dalam acara ini ketua Adat bersama warga khusus mengirim do’a
untuk nabi Muhammad karena sudah berjasa membawa agam Islam. Biasanya dalam
acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk-pauk
yang akan dibagikan kepada warga setelah di doakan.
Adapun proses mauludan itu dilaksanakan
sebagai berikut:
1. Pukul
05.30 masyarakat datang ke rumah adat dengan membawa ayam,
2. Ratusan
orang berkumpul untuk proses pemotongan ayam bersama,
3. Pukul
07.00-11.00 dilakukan dzikir oleh para bapak-bapak dengan dihidangkan kue,
4. Selesai
dzikir bersama para bapak pulang kemudian ibu-ibu datang ke rumah adat dengan
membawa tumpeng,
5. Kemudian
acara terakhir doa bersama oleh kepala adat dan ustadz.
b. Seren
taun
(Sukuran hasil panen) dilaksanakan sebagai ungkapan rasa sukur dari petani yang
dipimpin oleh ketua Adat, rasa sukur ini ditujukan kepada yang pertama telah
memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada manusia, yaitu yang maha
kuasa pertama karena pada hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman
yang bermanfaat bagi manusia, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin
kepada yang punya. Kegiatan ini dilakukan
setelah setelah semua warga selesai panen, dalam proses.
Seren
Taun ditandai dengan peyembelihan kerbau yang dagingnya dimasak dan dijadikan
untuk selametan, selanjutnya warga dan ketua adat melakukan ziarah ke makam
leluhur ketua adat, dan selanjutnya masyarakat pun melakukan ziarah ke makam
kerabatnya. Sepulang ziarah mengadakan selametan lagi sebagai tanda telah
mengadakan ziarah kemakam leluhur setelah itu warga mempersiapkan hidangan buat
warga dan juga tamu yang sengaja datang
dari luar baik tamu dari instansi pemerintah, mahasiswa, dan juga pedagang.
Selanjutnya mengadakan selametan yang dipimpin oleh ketua adat, setelah selesai
selametan baru hiburan dimulai seperti jaipongan, golek dan sebagainya, dan
kesokan harinya warga mengadakan selametan kembali dengan membawa pangang ayam
dan nasi sebakul, ayam yang di pangang di sembelihnya dekat rumah adat.
c.
Sedekah rowahan, tanggal 12 bulan Rowah (Bulan sya’ ban),
dilaksanakan pada bulan (sya’ban), pagi hari masyarakat membawa ayam satu ekor
per-keluarga, dan disembelih dihalaman rumah adat, setelah selesai dimasak,
dibawah lagi ke rumah adat, selametannya di lakukan bada dhuhur, acara ini dan
doa yang dikirim sebagai wujud bakti kepada nabi adam alaihi salam karena
menjadi induk semua umat manusia.
d. Sedekah bumi, lewat beberapa bulan
setelah selesai bulan Rowah (syaban), puasa (Ramadhan), syawal. Acara ini
diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat,
sebelum makan bareng warga memanjat Doa agar ketika selama menanam padi selamat
dari hama dan tanpa kendala.
e.
Seren pataunan adalah sebuah acara adat penutup tahun.
Acara ini bertujuan agar bisa diselamatkan tahun yang sudah dijalani, ritual
adat hampir sama dengan seren taun.Yaitu
ada acara pemotongan kerbau lalu dilakukan syukuran. Setelah pemotongan kerbau
kepala adat menuju bumi alit digiring masyarakat, dan samapai pada malam puncak
sekitar pukul 08.00.
1.3.
Rumah Kampung Adat Urug
Rumah
adat di Kampung Urug ada beberapa macam: Bumi Ageung atau Gedong Ijo, sesuai
warnanya yang dominan hijau, kemudian yang kedua di depan Bumi
Ageung berdiri pula sebuah rumah panggung yang lebih kecil dalam nuansa
warna yang sama, bumi alit (alias rumah kecil). Bangunan itu terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam
pagar kawat, dan cukup memberi kesan keramat dan sakral. Adapun penjelasan lebih rincinya adalah
sebagai berikut:
1. Bumi Ageung yaitu rumah yang ditempati oleh ketua adat dan biasa dipakai penerimaan
tamu ataupun upacara-upacara yang ada di Kampung Urug yang dijadikan sebagai
pusat kegiatan. Suasana di dalam Bumi Ageung
tampak luas dan sedikit remang-remang. Aromaserbuk kayu memenuhi
ruangan (kebetulan saat itu sedang ada pemugaran di bagian belakang
rumah). Perabot kayu antik menjadi penyekat antar ruang yang terbuka.
2. Rumah Panggungyaitu sebuah rumah yang berada di depan Bumi Ageung sebagai tempat paniisan
(Istirahat arwah leluhur). Tempat ini tidak bisa dikunjungi oleh orang
lain, hanya saja yang biasa ke tempat ini adalah seseorang yang membersihkan
dan merawat sebanyak 2 kali dalam sebulan. Sedangkan selain dari petugas
kebersihan yang boleh masuk adalah Ketua Adat (Abah Ukat) dan Istrinya itupun
hanya dilakukan 1 tahun sekali. Tempat ini juga biasa dilakukan untuk semadi
kepala adat.
3. Bumi Alit terletak paling
ujung dan terpencil, terkurung dalam pagar kawat, dan cukup memberi kesan
keramat dan sakral. Tempat bumi alit ini yaitu kuburan nenek moyang yang tidak diketahui.
Seseorang yang bisa masuk yaitu sama hanya Ketua Adat dan istrinya dan itupun
dilakukan 2 kali dalam setahun.
4. Leuit yaitu tempat penyimpanan padi setelah panen dan sebelum ditumbuk. Biasanya
diambil pada hari-hari tertentu yaitu kamis dan minggu.
1.4. Kearifan Lokal Kampung Adat Urug
Kearifan
lokal Kampung Urug ini memilik tiga fungsi yaitu mengatur, mngendalikan dan
memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia baik dalam bermasyarakat, hubungannya
denagn alam dan juga hubungannya dengan sang pencipta.
Ada
beberapa kearifan lokal yang ada di Kampung Adat Urug diantaraya adalah konsep
ajaran Ngaji Diriyang merupakan falsafah atau pandangan hidup warga
kesepuhan adat Urug yang diturunkan oleh leluhur dan dijalankan dan dipakai
dalam rutinitas kehidupan. Selanjutnya ialah budaya pamali yang
merupakan talek atau aturan, misalnya aturan dalam pengelola pertanian,
bahan pangan (padi) dan penggunaan bahan bangunan rumah adat dan rumah warga
kasepuhan. Selanjutnya ialah budaya Gotong royong.
1.
Konsep Ngaji
Diri
Konsep Ngaji Diri (memahami diri
sendiri atau mawas diri) adalah suatu ajaran pembinaan moral yang didalamnya
tercermin pengertian koreksi diri. Di Kampung Adat Urug, ajaran Ngaji Diir
disebut juga Tapa Manusia (memahami siapa sebenarnya jati diri manusia, hakekat
manusia).
Adapun prinsip-prinsp dalan Ngaji Diri:
a.
Mipit kudu
amit, ngala kudu menta (mengambil atau memetik itu harus meminta izin kepada
yang mempunyainya dengan kata lain jangan mencuri)
b.
Muruh bacot
muruh concot (sikap ramah tamah kepada tamu dan harus menjamu tamu dengan
hidangan sekedarnya)
c.
Ulah harep
teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing bisi tijengkang (jangan terlalu
depan nanti tersungkur, jangan teralalu belakang nanti terlentang)
d.
Nafsu
kasasarnya lampah, badan anu katempuhan (bila kita terbawa nafsu maka badan
yang akan menanggung akibatnya)
2.
Budaya Pamali
Pamali (Tabu)
adalah suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat, dan
merupakan turunan ajaran konsep Ngaji Diri.
3.
Budaya Gotong
Royong
Gotong royong
adalah budaya dan kearifan lokal yang ada di setiap suku-suku bangsa di
Indonesia, tak terkecuali di Kampung Adat Urug, nilai gotong royong bisa kita
lihat dalam falsafah sunda yaitu “silih asih, silih asah, silih asih silih
elingan bejan, ilmu pangempuh kadagelas istilah tersebut mempunyai nilai
untuk saling melindungi, membantu, mengayomi, membantu dan menasehati. Nilai
yang terkandung dalam falsafah tersebut adalah seperangkat nilai dan pegangan
dalam perilaku masyarakat, seperti prilaku gotong royong yang ada di Kampung
Adat Urug. Perilakugotong royong tersebut ialah dalam melakukan proses
pertanian yang dilakukan secara bersama-sama seperti penanaman padi bareng,
pengurusan irigasi secara bersama-sama, dan panen padi bersama-sama.
1.5.
Sistem Kekerabatan dan
Kepemimpinan
Mengenai sistem kekerabatan, di Kampung Urug dikenal dengan tali
kekerabatan yang disebut Tatali Kahuripan karena semua yang tinggal di kampung
Urug masih memiliki hubungan saudara.Di Kampung Urug dipimpin oleh Ki Kolot
Ukat, Ki Kolot Ukat ini yang bertugas mengendalikan dan mempertahankan adat
istiadat yang sudah turun temurun. Adapun sistem kepemimpinan di Kampung Urug
ini, ada tingkatan tertentu yaitu tingkatan tertinggi yaitu ketua suku, kedua
ketua kampung, selanjutya RW dan RT. Mengenai pemilihJadi an ketua suku atau
ketua adat, di kampung Urug ini menggunakan wangsit. yang menjadi pemimpin adat
tidaklah harus keturunan dari pemimpin adat yang sebelumnya, melainkan yang
jadi pemimpin suku selanjutnya itu hanya pemimpin adat (yang sekarang Abah Ukat)
yang dapat mengetahuinya.
1.6. Dokumentasi
Kampung Adat Urug
1.7.
Jadwal Kegiatan
Observasi Kampung Adat Urug
A. Hari
Pertama (Jum’at, 06 Mei 2016)
08.00-09.00 Preparing (Halte UIN)
13.00-13.30 ISHOMA (Musholla kampung Urug)
13.30-14.15 Ramah Tamah dengan keluarga Abah Ukat
14.15-17.00 Membaur dengan warga (wawancara dengan bapak Ujang)
17.00-19.30 ISHOMA
19.30-22.00 Belajar Mengenal sejarah Kampung Adat Urug Bogor
08.00-09.00 Preparing (Halte UIN)
13.00-13.30 ISHOMA (Musholla kampung Urug)
13.30-14.15 Ramah Tamah dengan keluarga Abah Ukat
14.15-17.00 Membaur dengan warga (wawancara dengan bapak Ujang)
17.00-19.30 ISHOMA
19.30-22.00 Belajar Mengenal sejarah Kampung Adat Urug Bogor
22.00-05.00 Istirahat Tidur
B. Hari Kedua
(Sabtu, 07 Mei 2016)
05.00-07.00 Sholat, Olah Raga, Sarapan Pagi
07.00-08.00 Menyaksikan Tradisi penumbukan padi
08.00-10.30 Traking ke sungai bersama anak-anak kampung urug
10.30-13.00 ISHOMA
13.00-16.15 Traking ke tempat penyimpanan padi
16.15-17.00 Diskusi
17.00-19.00 ISHOMA
19.00-20.15 berkunjung ke rumah Sekretaris Desa
20.15-22.30 Wawancara dengan Abah Maman kepala kampung
22.30-22.45 Diskusi
05.00-07.00 Sholat, Olah Raga, Sarapan Pagi
07.00-08.00 Menyaksikan Tradisi penumbukan padi
08.00-10.30 Traking ke sungai bersama anak-anak kampung urug
10.30-13.00 ISHOMA
13.00-16.15 Traking ke tempat penyimpanan padi
16.15-17.00 Diskusi
17.00-19.00 ISHOMA
19.00-20.15 berkunjung ke rumah Sekretaris Desa
20.15-22.30 Wawancara dengan Abah Maman kepala kampung
22.30-22.45 Diskusi
22.45-04.50
Istirahat Tidur
C. Hari ketiga (Minggu, 08 Mei 2016)
C. Hari ketiga (Minggu, 08 Mei 2016)
04.50-07.00
Prepare Pulang, sarapan Pagi
07-00-09.45
Gotong-royong pembongkaran rumah Adat
10.45-11.30
Makan siang, Perpisahan dengan keluarga Abah Ukat
11.30-12.00
Ramah tamah dengan warga sekitar dan Check Out
BAB VI
PENUTUP
1.1.Kesimpulan
Setelah pemaparan di atas maka dapat
disimpulkan sebabgai berikut:
1.
Masyarakat
Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi,
raja di kerajaan Padjajaran Jawa Barat. Kata Urug dijadikan nama kampung,
karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah
cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan.
2.
Masyarakat Kampung Adat
Urug hingga kini masih melaksanakan berbagai upacara/ritual
adat yaitu diantaranya:
Muludan, Seren taun, Sedekah Rowahan, Sedekah bumi, Seren pataunan.
3.
Rumah adat terdiri dari: Bumi Ageung, Rumah Panggung , Bumi Alit dan Leuit.
4.
Kearifan lokal Kampung Adat Urug terdiri dari 3
yaitu ngaji diri, budaya pamali dan budaya gotong royong
5.
Adapun sisitem kekerabatannya dalam satu kampung
itu masih ada hubungan saudara.
1.2.Saran
Setiap
masyarakat adat pasti memiliki ciri khas yang melembaga dalam ritual kehidupan
sehari-hari. Ciri-ciri tersebut telah menjadi identitas yang harus dihormati
sebagai wujud pergulatan rasionalitas bagi para penganutnya. Oleh karena itu,
tradisi keagamaan masyarakat etnis Kampung Adat Urug hendaknya jangan dipahami
sekedar ritualitas belaka melainkan memiliki dimensi spirititualitas yang
mendalam yang harus diteliti dan digali kepada masyarakat.
Astuti
Dewi, Risma Rismawati. 1987. Adat Istiadat: Masyarakat Jawa Barat.
Bandung: PT. Sarana Panca Karyanusa.
Halimi.2013.
Kearifan Lokal dalam Upaya Ketahanan
Pangan di Kampung Urug Bogor. Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar