Agama Tradisional Sunda Wiwitan
A.
Asal-Usul Sunda Wiwitan
Tokoh atau pendiri dari agama
sunda wiwitan adalah pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat atau lebih
dikenal sebagai Kyai Madrais. Sejarah mencatat Madrais Sadewa Alibassa Kusumah
Wijaya Ningrat, lahir pada tahun 1822 sampai 1939 . Beliau tidak dilahirkan di
Gebang, tetapi di susukan Ciawigebang yang kemudian dititipkan kepada ki
Sastrawadana di cigugur dengan pesan kelak dapat meneruskan perjuangan
leluhurnya dalam usaha menentang penjajahan, selain itu, untuk mengelabui
kompeni dipesankan pula agar anak tersebut diakui sebagai anak Ki
Sastrawardana, tetapi karena akhirnya diketahui bukan anak ki sastrawardana,
maka disebut pula bahwa anak tersebut dinyatakan sebagai anak titipan R.
Kastewi dari Sususkan Ciawigebang.
Pada usia 10 tahun pengeran Kusuma
Adiningrat berkerja pada Kuwu Sagahariang sebagai gembala kerbau, dikenal
dengan nama taswan, tetapi ketika akan meninggalkan Sagahariang, ia berpesan
kepada teman-temanya bahwa nama sebenarnya adalah Madrais, anak Ki
Sastrawardana dari Cigugur. Sekitar tahun 1840 pangeran Kusuma Adiningrat
kembali ke Cigugur dan mendirikan peguoran/pesantren dengan mengajarkan Agama
Islam yang kemudian dikena sebagai Kyai Madrais. Kyai Madrais menjelma menjadi
pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial,
memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan
bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam
cengkeraman kaum penjajah.
Namun disisi lain Pemerintahan
Belanda berupaya buruk kepada kyai madrais yaitu dengan tuduhan bahwa kyai
madrais melakukan pemerasan kepada rakyatnya, penipuan kepada rakyatnya.
Pemerintahan Belanda memasukan Kyai Madrais ke tahanan dan mengasingkannya ke
Merauke. Setalah kembali ke marauke tahun 1908, rumah Kyai Madrais tetap
diawasi, bahkan diadakan pejagaan dan para pengikutnya dilarang mendatangi lagi
rumah Kyai Madrais. Dengan adanya pengawasan dari pemerintahan belanda, Kyai
Madrais tidak lagi membuka pesantren, tetapi terus berusaha dalam bidang
pertanian. Ketika sibuk dalam usaha pertanian, para pengikutnya ada kesempatan
lagi untuk dapat bertemu dengan Kyai Madrais. Tetapi hal inipun diketahui, dan
akibatnya kerap kali pula keluar penjara, sampai akhirnya setelah ditekan
dengan keharusan menyanjung Pemerintahan Belanda di pesantren/paguronya,
barulah Kyai Madrais dibolehkan meneruskan tuntunannya. Pada tahun 1939
Pangeran Madrais meninggal dunia.
B.
Pokok-Pokok
Ajaran Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
1.
Pokok-Pokok Ajaran
Pokok-pokok
ajaran kepercayaan agama sunda wiwitan terekspresikan pada pemikiran Ki Madrais
sebagai berikut:
a) Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-Wiji (percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa).
b) Ngaji Badan(intropeksi/retropeksi diri).
c) Akur Rukun Jeng Sasama Bangsa (hidup rukun
dengan sesama).
d) Hirup ulah misah ti mufakat (mengutamakan
musyawarah untuk mencapai mufakat).
e) Hirup kudu silih tulungan (hidup harus
tolong menolong).
2.
Kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa
(Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut
sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan
Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa
dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk
kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan
seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
a)
Buana Nyungcung:
tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
b)
Buana Panca Tengah:
tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
c)
Buana Larang: neraka,
letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah
terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas
bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan
atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat
tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka
Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua
yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan
batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda.
Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan
atau menciptakan.[1]
Sebutan manusia dibedakan menjadi “jalma” atau
“manusa”. Disebutjalma karena ngajalma (menjelma) atau mewujud menjadi mahluk
yang disebut manusia dengan kodrat dan cirinya yang haus melaksanakan cara
hidup dan cara kemanusiaan.
Manusia harus menyadari kemanusiaannya di samping
hidup sesuai dengan nalurinya, juga memiliki akal dan budi manusia tidak hanya
merasa hanya hidup, melainkan juga dapat merasakan sedalam-dalamnya arti hidup
dalam kehidupan, merasa bahwa wujud keagungan alam semesta hanyalah berasal
dari cipta dan Karsa Tuhan Yang Maha
Esa.
Penciptaan alam semesta dimulai dari cahaya. Cahaya
dibagi menjadi empat yaitu cahaya putih, kuning, merah dan hitam. Cahaya putih
melambangkan air, cahaya kuning melambangkan air, cahaya merah melambangkan
api, dan cahaya hitam melambangkan
tanah. Untuk itu alam semesta ini terbentuk dalam unsur air, angin, api, dan
tanah.
C. Upacara Keagamaan Agama Sunda Wiwitan
1.
Upacara Keagamaan
a)
Sembahyang dalam Agama Sunda Wiwitan
Olah rasa atau
samadi adalah suatu upaya kearah kesadaraan diri dalam penghayatan untuk
mencapai kesadaran illahi, menyadari kemahaesaaan tuhan, keagungan serta segala
sifatnya yang maha sempurna atau segala yang ada di dalam semesta. Dalam sikap
duduk sempurna yang baik, dengan rasa penyerahan diri, serta merasakan bahwa
tiada kekuasaan lain kecali Tuhan adanya, dan tiada asal dari segala asal
kecuali tuhan yang Maha Pencipta.
Dalam mengolah
rasa, disamping mengatur napas dan merasakannya, disertai pula berusaha melihat
wajah sendiri dalam penglihatan rasa, sambil mengucapkan dalam hati:
Kun Sapun Ka Sang Rumuhun
Gusti Nu Murbeng Jagat
Nu Kagungan Marga Numadi jisim
Nu Nyangki Pasti Papasten
Nu Nebarkeun Bini Hurip Binih Pati
Maha Agung, Maha Murah, Mahar Asih
Maha Kawasa, Maha Uninga Tur Maha Adil
Abdi Nampi Cipta Karesa Gusti
Teu Aya Daya Pangawasa Iwal Ti Pangrese Gusti
Nugih Abdi Di Kersaken Dina Midamel
Salir Puli Samudaya Karesa Gusti
Nudiolah Karesa Gusti, Nungolah Pangresa Gusti
Abdi Nampi Kerana Ka Agungan Sareng Ka Jemparan
Gusti
Mugi Abdi Pinareng Raha Ayu
Rahayu Sagung Dumadi
Dalam
pengheningan Hamadi manusia harus benar-benar merasakan dengan kepercayaan dan
kenyataan bahwa bernafas adalah suatu anugrah yang Maha Kuasa sehingga dapat
menikmati segala kemurahan yang di berikan dalam cinta kasih-Nya.
Upacara
keagamaan ini dilakukan dalam rangka menanamkan udi luhur kepada para anggota.
Beberapa upacara dapat disebutkan, seperti:
1) Tanggan satu
Sura, merupakan tahun bagi orang Jawa dan orang Sunda yang sekaligus juga
merupakan hari raya bagi warga Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang atau ADS.
2) Saresehan yang
secara rutin diadakan seminggu sekali.
3) Upacara
peringatan Maulid Nabi.
4) Upacara menubuk
padi yang dilakukan pada 22 Djulhijjal. Upacara memiliki makna tersendiri bagi
mereka. Yakni, sebagai penghormatan pada Dewi Sri yang bakal kehidupan manusia.
2.
Upacara Adat
a)
Upacara
Kematian
Setiap orang yang meninggal berarti ia pulang ke
“Jagat Peteng” (Alam Gelap). Oleh sebab itu, ketentuan yang harus dilakukan
pada orang meninggal adalah:
1)
Dibungkus
dengan kain hitam, yang berarti kematian itu memasuki alam yang gelap.
2)
Dimasukkan
peti berkayu jati yang berarti manusia telah pulang kea lam yang sejati
3)
Dibagi
dalam peti kayu jati disempan arang, kapur dan beras. Ketiga benda-benda yang
dimasukkan kedalam peti ini mempunyai makna tersendiri, arang dimaksudkan
melumpuhkan roh atau makhluk halus yang berada di dalam kayu jati, kapur
dimaksudkan untuk mencegah agara mayatnya tidak diganggu orang yang masih
hidup, beras dimaksukan bahwa hidup manusia sangat tergantung pada beras
sebagai bahan makanan sehari-hari.
D.
Interaksi Sunda Wiwitan dengan
Agama Lain
Pada masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena
pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan
ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam
atau Katolik.
Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan
oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya,
Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli1981 mendirikan Paguyuban
Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Pangeran Djatikusuma telah
mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat
Barna Alam,
untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus
bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak
Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.[2]
[1]
Dikases pada tanggal 15 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan
[2]
Diaskes pada tanggal 15 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_Sunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar