Selasa, 14 Juni 2016

Resume Kelompok 11



Agama Tradisional Sunda Wiwitan
A.    Asal-Usul Sunda Wiwitan
Tokoh atau pendiri dari agama sunda wiwitan adalah pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat atau lebih dikenal sebagai Kyai Madrais. Sejarah mencatat Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, lahir pada tahun 1822 sampai 1939 . Beliau tidak dilahirkan di Gebang, tetapi di susukan Ciawigebang yang kemudian dititipkan kepada ki Sastrawadana di cigugur dengan pesan kelak dapat meneruskan perjuangan leluhurnya dalam usaha menentang penjajahan, selain itu, untuk mengelabui kompeni dipesankan pula agar anak tersebut diakui sebagai anak Ki Sastrawardana, tetapi karena akhirnya diketahui bukan anak ki sastrawardana, maka disebut pula bahwa anak tersebut dinyatakan sebagai anak titipan R. Kastewi dari Sususkan Ciawigebang.
Pada usia 10 tahun pengeran Kusuma Adiningrat berkerja pada Kuwu Sagahariang sebagai gembala kerbau, dikenal dengan nama taswan, tetapi ketika akan meninggalkan Sagahariang, ia berpesan kepada teman-temanya bahwa nama sebenarnya adalah Madrais, anak Ki Sastrawardana dari Cigugur. Sekitar tahun 1840 pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur dan mendirikan peguoran/pesantren dengan mengajarkan Agama Islam yang kemudian dikena sebagai Kyai Madrais. Kyai Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah.
Namun disisi lain Pemerintahan Belanda berupaya buruk kepada kyai madrais yaitu dengan tuduhan bahwa kyai madrais melakukan pemerasan kepada rakyatnya, penipuan kepada rakyatnya. Pemerintahan Belanda memasukan Kyai Madrais ke tahanan dan mengasingkannya ke Merauke. Setalah kembali ke marauke tahun 1908, rumah Kyai Madrais tetap diawasi, bahkan diadakan pejagaan dan para pengikutnya dilarang mendatangi lagi rumah Kyai Madrais. Dengan adanya pengawasan dari pemerintahan belanda, Kyai Madrais tidak lagi membuka pesantren, tetapi terus berusaha dalam bidang pertanian. Ketika sibuk dalam usaha pertanian, para pengikutnya ada kesempatan lagi untuk dapat bertemu dengan Kyai Madrais. Tetapi hal inipun diketahui, dan akibatnya kerap kali pula keluar penjara, sampai akhirnya setelah ditekan dengan keharusan menyanjung Pemerintahan Belanda di pesantren/paguronya, barulah Kyai Madrais dibolehkan meneruskan tuntunannya. Pada tahun 1939 Pangeran Madrais meninggal dunia.

B.     Pokok-Pokok Ajaran Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
1.      Pokok-Pokok Ajaran
            Pokok-pokok ajaran kepercayaan agama sunda wiwitan terekspresikan pada pemikiran Ki Madrais sebagai berikut:
a)      Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).
b)      Ngaji Badan(intropeksi/retropeksi diri).
c)      Akur Rukun Jeng Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama).
d)     Hirup ulah misah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat).
e)      Hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong menolong).
2.      Kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
a)      Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
b)      Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
c)      Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.[1]
Sebutan manusia dibedakan menjadi “jalma” atau “manusa”. Disebutjalma karena ngajalma (menjelma) atau mewujud menjadi mahluk yang disebut manusia dengan kodrat dan cirinya yang haus melaksanakan cara hidup dan cara kemanusiaan.
Manusia harus menyadari kemanusiaannya di samping hidup sesuai dengan nalurinya, juga memiliki akal dan budi manusia tidak hanya merasa hanya hidup, melainkan juga dapat merasakan sedalam-dalamnya arti hidup dalam kehidupan, merasa bahwa wujud keagungan alam semesta hanyalah berasal dari cipta  dan Karsa Tuhan Yang Maha Esa.
Penciptaan alam semesta dimulai dari cahaya. Cahaya dibagi menjadi empat yaitu cahaya putih, kuning, merah dan hitam. Cahaya putih melambangkan air, cahaya kuning melambangkan air, cahaya merah melambangkan api, dan cahaya hitam  melambangkan tanah. Untuk itu alam semesta ini terbentuk dalam unsur air, angin, api, dan tanah.

C.    Upacara Keagamaan Agama Sunda Wiwitan
1.      Upacara Keagamaan
a)      Sembahyang dalam Agama Sunda Wiwitan
Olah rasa atau samadi adalah suatu upaya kearah kesadaraan diri dalam penghayatan untuk mencapai kesadaran illahi, menyadari kemahaesaaan tuhan, keagungan serta segala sifatnya yang maha sempurna atau segala yang ada di dalam semesta. Dalam sikap duduk sempurna yang baik, dengan rasa penyerahan diri, serta merasakan bahwa tiada kekuasaan lain kecali Tuhan adanya, dan tiada asal dari segala asal kecuali tuhan yang Maha Pencipta.
Dalam mengolah rasa, disamping mengatur napas dan merasakannya, disertai pula berusaha melihat wajah sendiri dalam penglihatan rasa, sambil mengucapkan dalam hati:
Kun Sapun Ka Sang Rumuhun
Gusti Nu Murbeng Jagat
Nu Kagungan Marga Numadi jisim
Nu Nyangki Pasti Papasten
Nu Nebarkeun Bini Hurip Binih Pati
Maha Agung, Maha Murah, Mahar Asih
Maha Kawasa, Maha Uninga Tur Maha Adil
Abdi Nampi Cipta Karesa Gusti
Teu Aya Daya Pangawasa Iwal Ti Pangrese Gusti
Nugih Abdi Di Kersaken Dina Midamel
Salir Puli Samudaya Karesa Gusti
Nudiolah Karesa Gusti, Nungolah Pangresa Gusti
Abdi Nampi Kerana Ka Agungan Sareng Ka Jemparan Gusti
Mugi Abdi Pinareng Raha Ayu
Rahayu Sagung Dumadi
Dalam pengheningan Hamadi manusia harus benar-benar merasakan dengan kepercayaan dan kenyataan bahwa bernafas adalah suatu anugrah yang Maha Kuasa sehingga dapat menikmati segala kemurahan yang di berikan dalam cinta kasih-Nya.
Upacara keagamaan ini dilakukan dalam rangka menanamkan udi luhur kepada para anggota. Beberapa upacara dapat disebutkan, seperti:
1)      Tanggan satu Sura, merupakan tahun bagi orang Jawa dan orang Sunda yang sekaligus juga merupakan hari raya bagi warga Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang atau ADS.
2)      Saresehan yang secara rutin diadakan seminggu sekali.
3)      Upacara peringatan Maulid Nabi.
4)      Upacara menubuk padi yang dilakukan pada 22 Djulhijjal. Upacara memiliki makna tersendiri bagi mereka. Yakni, sebagai penghormatan pada Dewi Sri yang bakal kehidupan manusia.
2.      Upacara Adat
a)      Upacara Kematian
Setiap orang yang meninggal berarti ia pulang ke “Jagat Peteng” (Alam Gelap). Oleh sebab itu, ketentuan yang harus dilakukan pada orang meninggal adalah:
1)      Dibungkus dengan kain hitam, yang berarti kematian itu memasuki alam yang gelap.
2)      Dimasukkan peti berkayu jati yang berarti manusia telah pulang kea lam yang sejati
3)      Dibagi dalam peti kayu jati disempan arang, kapur dan beras. Ketiga benda-benda yang dimasukkan kedalam peti ini mempunyai makna tersendiri, arang dimaksudkan melumpuhkan roh atau makhluk halus yang berada di dalam kayu jati, kapur dimaksudkan untuk mencegah agara mayatnya tidak diganggu orang yang masih hidup, beras dimaksukan bahwa hidup manusia sangat tergantung pada beras sebagai bahan makanan sehari-hari.

D.    Interaksi Sunda Wiwitan dengan Agama Lain
Pada masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.
Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.[2]


[1] Dikases pada tanggal 15 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan
[2] Diaskes pada tanggal 15 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_Sunda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar