Agama
Tradisional Orang Samin
A. Asal-Usul Masyarakat Samin
Masyarakat Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang
terdapat di Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan Provinsi Jawa Tengah.
Ajaran Samin atau Saminisme disebarkan oleh
seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atau Surantiko Samin, disebut
pula Surontiko Sami. Para pengikut yang mengkultuskannya mengatakan bahwa
Surosentiko Samin adalah “Wong Tiban”
atau orang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan kemana perginya. Lahir
kira-kira tahun 1859 di Desa Plosokediren sekitar 30 meter dari Blora.
Pengikut ajaran Samin
mempunyai lima ajaran, yaitu: tidak bersekolah, memakai "iket", yakni semacam kain yang diikat di kepala, tidak berpoligami, tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai
celana selutut, dan tidak
berdagang karena bagi mereka berdangang menimbulkan sikap ketidakjujuran dan
tidak baik.
Pokok ajaran Samin adalah sebagai
berikut:
1. Agama adalah senjata atau
pegangan hidup. Paham
Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena
itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Jangan mengganggu
orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik
orang.
2. Bersikap
sabar dan jangan sombong.
3. Manusia
hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya
satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal
tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
4. Bila
berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur,
dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam
perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”.
Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.[1]
B. Pandangan Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin
1. Agama
Agama menurut orang Samin berarti
“gaman” (senjata), yaitu “gamane wong lanang”. Mereka sering
mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam,
jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal hidup dan mati,
dan segalanya bersumber pada Dia.
Konsep agama Adam ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama
pewahyuan karena agama Adam ini mutlak dari pemikiran dan ide dasar orang tua
terdahulu secara turun-temurun.
2.
Manusia dan Kehidupan Alam Dunia
Pandangan masyarakat Samin
terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya
mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini
sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan
dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi
penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka
perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam)
mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat
Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada
pemakainya.
Mereka mencintai alam dan
memperlakukannya dengan baik. Hanya mengambil kayu untuk kayu bakar dan tidak
mengeksploitasi secara berlebihan. Kemana-mana mereka suka jalan kaki, walaupun
jarak yang ditempuh cukup jauh.[2]
C. Upacara Keagamaan Masyarakat Samin
1. Upacara Kelahiran
Kelahiran menurut masyarakat Samin adalah sesuatu hal yang dianggap biasa
saja. Masyarakat Samin juga mengenal brokohan bancakanmbel-mbel yang
dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan mbrokohiturunan.
Kemudian setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi
berusia sembilan hari juga dibuatkan mbel-mbel
selapan.
Ada ritual yang dinamakan penanaman tembuni yang
dibedakan antara pria dan wanita. Penanaman tembuni bagi anak laki-laki ditanam
di dalam rumah agar si anak laki-laki itu ketika dewasa bisa membantu sang ayah
dalam mencari penghasilan. Sementara itu, anak perempuan tembuninya ditanam di
luar rumah dengan harapan si anak cepat mendapat jodoh.
2.
Upacara
Khitan atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal
khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah
ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan
sehari-hari, seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi”
atau seseorang yang sudah memasuki akil baligjuga disunat sebagai laki-laki
yang beragama Islam. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya si anak dibawa ke bong
supit, yang disebut dengan istilah calak.
Masyarakat Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung pengertian memperindah alat kelamin.
3. Upacara Perkawinan
Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada demen) dan tidak ada unsur paksaan.
Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka.
Dalam prosesi perkawinan masyarakat Samin ialah adanya masa magang, serta tidak melibatkan aparat
pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup dihadiri orang tua atau wali
dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah. Perkawinan menurut ajaran Saminisme,
ialah alat untuk meraih keluhuran budi yang selanjutnya untuk menciptakan atmaja (keutamaan) yaitu seorang anak yang mulai.
Tata cara perkawinan masyarakat Samin yaitu hidup serumah sebelum
melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu). Bila keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk
siap mengawini mempelai perempuan.
4. Upacara Kematian
Manusia itu tidak pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya
saja.
Mayat yang akan dikubur dipelihara sedemikian rupa, seperti sebelum
dikubur, kemudian dimandukan, di bungkus dengan kain kafan, kemudian dikubur dengan menghadap ke arah
Utara Selatan, menghadap ke Barat, kemudian diberi nisan.
D. Etika dalam Masyarakat Samin
Masyarakat Samin akan selalu menjadi bagian dari
kehidupan yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan keselarasan. Praktek pengalaman ajaran Samin yang
diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi yang sangat kuat pada
pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak yang menonjol dari
mereka adalah: memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh janji”, jujur, sabar dan tidak suka kekerasan, ikhlas atau “nerimo”, dan santun dalam menerima tamu.
E. Interaksi Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain
Interaksi kepercayaan orang Samin dengan masyarakat
sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan
akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap agama
lain dan masyarakat lain,karena ajaran
Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik
dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Masyarakat Samin dalam berinteraksi
dengan sesama Samin maupun non-Samin menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan bahasa tersebut
sebagai pertanda bahwa masyarakat Samin termasuk ke dalam kategori kelas sosial
tingkat bawah. Masyarakat Samin tidak menutup diri mereka dengan masyarakat
luar. Akan tetapi, dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat luar mereka cukup
kesulitan karena adanya sedikit perbedaan bahasa dan pemahaman.
Referensi
Diakses pada tanggal 21 April 2016 dari http://nur-maulidatus-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-93508-Budaya-KARAKTERISTIK%20DAN%20ADAT%20ISTIADAT%20MASYARAKAT%20SAMIN%20(Tugas%20pengantar%20Ilmu%20Budaya).html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar