AGAMA TRADISIONAL ORANG
TRUNYAN DI BALI
A.
Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga
Menurut penelitian oleh Jemes D, untuk
mengetahui sejarah Desa Trunyan sulit sekali. Semua itu disebabkan karena
peninggalannya berupa tulisan yang hanya berupa beberapa prasasti, yang kini
disimpan di pelinggih (bangunan suci
tempat persemayaman dewa).
Trunyan berasal dari kata Taru Menyan,
Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum. yang sekarang ini
menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Semuai itu
dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau
harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri
kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil menarik perhatian 4
bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3
orang pangeran dan 1 orang putri.
Waktu sampai di Kaki Gunung Batur, sang
Putri bungsu tertarik dengan tempat tersebut dan memutuskan untuk tinggal
disana. Selanjutnya sang putri pindah ke lereng gunung batur sebelah timur dan
memiliki gelar Ratu Ayu Mas Marketeg. Kemudian ketiga saudaranya melanjutkan
perjalanannya. Hingga suatu ketika mereka sampai di dataran bernama Kedisan,
mereka mendengar suara burung yang merdu. Mendengar suaru burung ini, pangeran
ketiga sangat kegirangan. Namun, pangeran pertama ternyata tidak menyukainya.
Maka dipertahkannya pangeran ketiga untuk berdiam diri di tempat tersebut.
Ketika pangeran ketiga menolak, pangeran sulung marah dan menendangnya hingga
jatuh dalam posisi duduk bersila dan berubah patung. Patung tersebut diberi
nama Patung Bathara Dewa yang sekarang masih ada di wilayah Kedisan dengan
bentuk aslinya yang masih duduk bersila.
Setelah itu kedua pangeran yang tersisa
melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke sebuah dataran, dimana mereka
bertemu dengan dua orang gadis yang cantik. Sang pangeran kedua kemudian
menyapanya, melihat ini pangeran pertama kembali marah dan memerintahkan untuk
tinggal di tempat itu, pangeran keduapun menolak, dan kemudian pangeran pertama
menyepak adiknyanhingga jatuh tertelungkup dan kemudian ditinggalkan,
disebutkan sang adik kemudian menjadi kepala desa di tempat, kemudian disebut
dengan Desa Abang Dukuh. Dukuh sendiri merupakan istilah dalam bahasa lokal
yang berarti telugkup.
Pangeran pertama akhirnya melanjutkan
perjalanannya seorang diri, dan akhirnya menemukan sumber harum yang berasal
dari pohon Taru Menyan. Di bawahnya ia melihat seorang Dewi yang sangat cantik
jelita. Kemudian sang pangeran pun jatuh cita dan berniat untuk melamar sang
Dewi. Lamaran akan di terima dengan syarat p-angeran mau menjadi pemimpi desa
tersebut. Akhirnya pangeran itu diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat,
sedangkan istrinya diberi gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar sejak itu, desa
Trunyan akhirnya berkembang menjadi kerajaan kecil. Kemudian untuk melindungi
kerajaan yang tertarik dengan bau harum pohon Taru Menyan, Ratu Sakti Pancering
Jagat memerintahkan untuk tidak menguburkan mayat, namun diletakkan saja di
bawah pohon Taru Menyan hingga membusuk. Sejak saat itu pohon itu sudah tak
tercium bau harum lagi, dan jenazah-jenazah tersebut tidak mengeluarkan busuk.
B.
Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
Mite menurut KBBI artinya cerita yang
mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita
yang benar-benar terjadi. Dianggap suci, ajaib, dan umumnya ditokohi oleh
dewa-dewa. Berikut Mite yang dipercayai terdapat di suku Trunyan.
1. Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit
Dahulu
ada seorang dewi yang terpesona dengan bau harum, yang datang dari suatu tempat
di bumi yang telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu.
Setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya akhirnya berhasil menemukan. Sumber
harum itu ternyata berasal dari pohon Taru Menyan, sejak itu tempat itu
dinamakan Trunyan. Akhirnya sang Dewi memutuskan untuk tinggal disana. Pada
suatu hari, karena marah akibat diamat-amati oleh matahari. Kemudian ia
menghina sang Surya dengan cara melihatkan alat kelamin dan menunggingkan ke
arahnya. Sebagai akibat perbuatannya, sang Dewi mengandung secara gaib serta
melahirkan sepasang anak kembar berlainan jenis kelamin. Anak yang lahir
terdahulu adalah sebuah banci, dan yang kedua seorang perempuan. Setelah
anak-anaknya tumbuh dewasa sang Dewi kembali ke kayangan, dan kedua
kakak-beradik itu hidup sendiri di Trunyan.
2. Adat Kebudayaan di suku Trunyan
a) Bentuk Pemakaman
Orang yang meninggal bukan dibakar atau
dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang.
Posisi peletakan jenazah berjejer bersanding dengan yang lainnya, lengkap
dengan pembungkus kain sebagai pelindung tubuh waktu prosesi. Tampak hanya
bagian muka yang terlihat dari celah bambu “Ancak Saji”. Ancak Saji berfungsi
untuk melindungi jenazah dari serangan binatang buas.
b) Pementasan Barung Brutuk
Selain
keunikan dari penguburan mayat, Trunyan juga memiliki tarian langka bernama
Barong Brutuk sangat jarang dipentaskan terkecuali saat odala di Pura Pancering
Jagat desa Trunyan. Wajahnya barongnya menggunakan seperti topeng primitive, dipakaikan kepada
seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering.
Di pentaskan
pada siang hari, tepat saat mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara
odalan tersebut biasannya selama tiga hari berturut-turut. Penampilan barong
ini dimulai dengan tampilan unen-unen tingkat anggota Brutuk, mereka
mengelilingi penyengker pura selama 3 kali, sambil melambaikan cemeti dengan
suara melengking kepada para penonton (peserta upacara), sehingga membuat para
penonton takut. Kemudian doa-doa dan sesajian dihaturkan oleh seorang pemangku
tatkala para tokoh ningrat seperti raja, ratu, patih dan kakak ratu tampil
kemudian keempatnya juga mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen,
para peserta (penonton) berlomba mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang
nantinya disebar di area perkebunan untuk kesuburan.
c) Ritual dalam Desa Trunyan
1)
Kematian dan
Pemakaman Trunyan
Jenazah
kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa
menguburnya. Jenazah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari
belahan bambu. Pohon
taru menyan itulah cikal bakal nama desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan
kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman
orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
Ø Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah
udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah.
Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu
matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih
bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal. Jumlah liang lahat di
area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara
bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga
yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus
diangkat dan diletakkan di sekitar liang.
Ø Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang
dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya. Orang-orang
yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur.
Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat 1
kuburan yaitu:
Ø
Sema wayah, diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah
Ø
Sema bantas, diperuntuukan untuk dengan penguburan.
Ø
Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu
mepasah (exposure) maupun penguburan.[1]
2)
Upacara
Pernikahan
Pada
saat upacara, kata Jaksa, salah seorang pemimpin upacara yang ditunjuk yakin
Jero Mangku Puji Nyarikan menyelesaikan upacara. Usai siraman sejumlah sesajen
yang telah usai dipergunakan dibuang ke danau dan menjadi bahan perebutan bagi
anak-anak. Kemudian setelah terlempar, satu persatu anak langsung terjun untuk
mengambil sesajen seperti makanan, buah-buahan dan uang yang dibuang ke danau.
Selanjutnya, setelah melaksanakan pembersihan, kedua mempelai melanjutkan upacara.
Sebelum
pelaksanaan ritual di Danau Batur, rangkaian upacara dilakukan mempelai
laki-laki dilanjutkan dengan upacara "meseserahan kawisan" atau
pemberian olahan daging ayam dan babi kepada keluarga mempelai wanita.
Pada saat upacara ini, kedua mempelai diwajibkan mengenakan pakaian adat khas Desa Trunyan.[2]
Pada saat upacara ini, kedua mempelai diwajibkan mengenakan pakaian adat khas Desa Trunyan.[2]
C.
Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
1. Sistem Religi Desa Trunyan
Religi
di Desa Trunyan berbentuk variant, kepercayaan Trunyan asli adalah kepercayaan
berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship). Walaupun dari
luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena
sudah mempergunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu Bali. Namun
semua itu digunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan.
Dewa-dewa
desa Trunyan banyak sekali. Para dewa tersebut dibagi menjadi dua golongan,
yaitu yang dipuja oleh segenap penduduk Desa Trunyan, dan yang satu dipuji oloh
satu atau dua dadiai saja. Golongan
pertama sebagian besar bersemayam di dalam Kuil utama Trunyan, dan golongan
kedua bersemayam di sanggah-sanggah dadia
yang ada di Desa Trunyan.
2. Tempat dan Upacara Keagamaan
Upacara
keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi menjadi lima, yaitu sebagai
berikut:
a)
Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk mengambil hati dewa
yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah
upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan
Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
b)
Pitra
Yadnya, upacara yang dilakukan
untuk para leluhur dan para kerabat, apabila ada kematian.
c)
Resi Yadnya,
upacara yang dilakukan untuk pentahbisan
pendeta.
d)
Buta Yadnya, Upacara yang dilakukan untuk para buta kala, biasanya juga dengan
Mercaru.
e)
Manusia
Yadnya, upacara yang dilakukan
untuk manusia yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang
berlangsung enam bulan sekali.
D.
Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan
Agama-agama Lain
Sebelum kedatangan agama Hindu-Buddha,
Kristen dan Islam, orang Trunyan memiliki kepercayaan kepada roh nenek moyang
atau yang biasa disebut sebagai animisme. Lalu dengan datangnya agama Hindu
kepercayaan tersebut berubah yakni Trunyan memiliki kepercayaan terhadap
dewa-dewa, karena agama Hindu memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa. Contoh percaya
kepada Dewa Ratu Pancering Jagat dan percaya pada Dewi Ratu Aga Pingit Dalam
Dasar. Trunyan mulai berinteraksi dengan agama Hindu pada abad ke-4 M.
Kini berkat ajaran oarng-orang Hindu Dharma, orang
Trunyam telah mengenal Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, yang biasa
disebut Sang Hyang Emaban. Tuhan yag ada dimana-mana, dan Ratu Pancering Jagat,
dewa tertinggi sebagai penjelmaan dari Sang Hyang Widhi. Konsekuensinya,
Selain itu interaksi dengan agama Kristen yakni
mengenal Trinitas yang diadopsi dari agama hindu yaitu Trimurti, menurut
Trunyan, Trimurti adalah putra-putra dewa tetinggi yang maha pengasih. Penjaga
ketertiban alam dan kesusilaan.[3]
Referensi
Diakses pada tanggal 15 April 2016 dari http://bali.antaranews.com/berita/12756/pernikahan-unik-ala-desa-trunyan
Diakses pada tanggal 15 April 2016 dari http://s-moc.blogspot.co.id/2012/10/agama-lokal-bali-trunyan.html
[2] Diakses pada tanggal 15
April 2016 dari http://bali.antaranews.com/berita/12756/pernikahan-unik-ala-desa-trunyan
[3] Diakses pada tanggal 15
April 2016 dari http://s-moc.blogspot.co.id/2012/10/agama-lokal-bali-trunyan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar