Kamis, 09 Juni 2016

Resume Kelompok 5



AGAMA TRADISIONAL ORANG TRUNYAN DI BALI

A.    Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga
Menurut penelitian oleh Jemes D, untuk mengetahui sejarah Desa Trunyan sulit sekali. Semua itu disebabkan karena peninggalannya berupa tulisan yang hanya berupa beberapa prasasti, yang kini disimpan di pelinggih (bangunan suci tempat persemayaman dewa).
Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum. yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.
Waktu sampai di Kaki Gunung Batur, sang Putri bungsu tertarik dengan tempat tersebut dan memutuskan untuk tinggal disana. Selanjutnya sang putri pindah ke lereng gunung batur sebelah timur dan memiliki gelar Ratu Ayu Mas Marketeg. Kemudian ketiga saudaranya melanjutkan perjalanannya. Hingga suatu ketika mereka sampai di dataran bernama Kedisan, mereka mendengar suara burung yang merdu. Mendengar suaru burung ini, pangeran ketiga sangat kegirangan. Namun, pangeran pertama ternyata tidak menyukainya. Maka dipertahkannya pangeran ketiga untuk berdiam diri di tempat tersebut. Ketika pangeran ketiga menolak, pangeran sulung marah dan menendangnya hingga jatuh dalam posisi duduk bersila dan berubah patung. Patung tersebut diberi nama Patung Bathara Dewa yang sekarang masih ada di wilayah Kedisan dengan bentuk aslinya yang masih duduk bersila.
Setelah itu kedua pangeran yang tersisa melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke sebuah dataran, dimana mereka bertemu dengan dua orang gadis yang cantik. Sang pangeran kedua kemudian menyapanya, melihat ini pangeran pertama kembali marah dan memerintahkan untuk tinggal di tempat itu, pangeran keduapun menolak, dan kemudian pangeran pertama menyepak adiknyanhingga jatuh tertelungkup dan kemudian ditinggalkan, disebutkan sang adik kemudian menjadi kepala desa di tempat, kemudian disebut dengan Desa Abang Dukuh. Dukuh sendiri merupakan istilah dalam bahasa lokal yang berarti telugkup.
Pangeran pertama akhirnya melanjutkan perjalanannya seorang diri, dan akhirnya menemukan sumber harum yang berasal dari pohon Taru Menyan. Di bawahnya ia melihat seorang Dewi yang sangat cantik jelita. Kemudian sang pangeran pun jatuh cita dan berniat untuk melamar sang Dewi. Lamaran akan di terima dengan syarat p-angeran mau menjadi pemimpi desa tersebut. Akhirnya pangeran itu diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat, sedangkan istrinya diberi gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar sejak itu, desa Trunyan akhirnya berkembang menjadi kerajaan kecil. Kemudian untuk melindungi kerajaan yang tertarik dengan bau harum pohon Taru Menyan, Ratu Sakti Pancering Jagat memerintahkan untuk tidak menguburkan mayat, namun diletakkan saja di bawah pohon Taru Menyan hingga membusuk. Sejak saat itu pohon itu sudah tak tercium bau harum lagi, dan jenazah-jenazah tersebut tidak mengeluarkan busuk.

B.     Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
Mite menurut KBBI artinya cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Dianggap suci, ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa-dewa. Berikut Mite yang dipercayai terdapat di suku Trunyan.
1.    Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit
Dahulu ada seorang dewi yang terpesona dengan bau harum, yang datang dari suatu tempat di bumi yang telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu. Setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya akhirnya berhasil menemukan. Sumber harum itu ternyata berasal dari pohon Taru Menyan, sejak itu tempat itu dinamakan Trunyan. Akhirnya sang Dewi memutuskan untuk tinggal disana. Pada suatu hari, karena marah akibat diamat-amati oleh matahari. Kemudian ia menghina sang Surya dengan cara melihatkan alat kelamin dan menunggingkan ke arahnya. Sebagai akibat perbuatannya, sang Dewi mengandung secara gaib serta melahirkan sepasang anak kembar berlainan jenis kelamin. Anak yang lahir terdahulu adalah sebuah banci, dan yang kedua seorang perempuan. Setelah anak-anaknya tumbuh dewasa sang Dewi kembali ke kayangan, dan kedua kakak-beradik itu hidup sendiri di Trunyan.
2.      Adat Kebudayaan di suku Trunyan
a)      Bentuk Pemakaman
Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang. Posisi peletakan jenazah berjejer bersanding dengan yang lainnya, lengkap dengan pembungkus kain sebagai pelindung tubuh waktu prosesi. Tampak hanya bagian muka yang terlihat dari celah bambu “Ancak Saji”. Ancak Saji berfungsi untuk melindungi jenazah dari serangan binatang buas.
b)      Pementasan Barung Brutuk
Selain keunikan dari penguburan mayat, Trunyan juga memiliki tarian langka bernama Barong Brutuk sangat jarang dipentaskan terkecuali saat odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan. Wajahnya barongnya menggunakan  seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering.
Di pentaskan pada siang hari, tepat saat mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara odalan tersebut biasannya selama tiga hari berturut-turut. Penampilan barong ini dimulai dengan tampilan unen-unen tingkat anggota Brutuk, mereka mengelilingi penyengker pura selama 3 kali, sambil melambaikan cemeti dengan suara melengking kepada para penonton (peserta upacara), sehingga membuat para penonton takut. Kemudian doa-doa dan sesajian dihaturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh ningrat seperti raja, ratu, patih dan kakak ratu tampil kemudian keempatnya juga mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen, para peserta (penonton) berlomba mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar di area perkebunan untuk kesuburan.
c)      Ritual dalam Desa Trunyan
1)      Kematian dan Pemakaman Trunyan
Jenazah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenazah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu. Pohon taru menyan itulah cikal bakal nama desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
Ø  Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal. Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang.
Ø  Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat 1 kuburan yaitu:
Ø  Sema wayah, diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah
Ø  Sema bantas, diperuntuukan untuk dengan penguburan.
Ø  Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan.[1]
2)      Upacara Pernikahan
Pada saat upacara, kata Jaksa, salah seorang pemimpin upacara yang ditunjuk yakin Jero Mangku Puji Nyarikan menyelesaikan upacara. Usai siraman sejumlah sesajen yang telah usai dipergunakan dibuang ke danau dan menjadi bahan perebutan bagi anak-anak. Kemudian setelah terlempar, satu persatu anak langsung terjun untuk mengambil sesajen seperti makanan, buah-buahan dan uang yang dibuang ke danau. Selanjutnya, setelah melaksanakan pembersihan, kedua mempelai melanjutkan upacara.
Sebelum pelaksanaan ritual di Danau Batur, rangkaian upacara dilakukan mempelai laki-laki dilanjutkan dengan upacara "meseserahan kawisan" atau pemberian olahan daging ayam dan babi kepada keluarga mempelai wanita.
Pada saat upacara ini, kedua mempelai diwajibkan  mengenakan pakaian adat khas Desa Trunyan.[2]

C.    Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
1.    Sistem Religi Desa Trunyan
Religi di Desa Trunyan berbentuk variant, kepercayaan Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship). Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena sudah mempergunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu Bali. Namun semua itu digunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan.
Dewa-dewa desa Trunyan banyak sekali. Para dewa tersebut dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang dipuja oleh segenap penduduk Desa Trunyan, dan yang satu dipuji oloh satu atau dua dadiai saja. Golongan pertama sebagian besar bersemayam di dalam Kuil utama Trunyan, dan golongan kedua bersemayam di sanggah-sanggah dadia yang ada di Desa Trunyan.
2.      Tempat dan Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
a)      Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
b)      Pitra Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan para kerabat, apabila ada kematian.
c)      Resi Yadnya, upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta.
d)     Buta Yadnya, Upacara yang dilakukan untuk para buta kala, biasanya juga dengan Mercaru.
e)      Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam bulan sekali.

D.    Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
Sebelum kedatangan agama Hindu-Buddha, Kristen dan Islam, orang Trunyan memiliki kepercayaan kepada roh nenek moyang atau yang biasa disebut sebagai animisme. Lalu dengan datangnya agama Hindu kepercayaan tersebut berubah yakni Trunyan memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa, karena agama Hindu memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa. Contoh percaya kepada Dewa Ratu Pancering Jagat dan percaya pada Dewi Ratu Aga Pingit Dalam Dasar. Trunyan mulai berinteraksi dengan agama Hindu pada abad ke-4 M.
Kini berkat ajaran oarng-orang Hindu Dharma, orang Trunyam telah mengenal Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, yang biasa disebut Sang Hyang Emaban. Tuhan yag ada dimana-mana, dan Ratu Pancering Jagat, dewa tertinggi sebagai penjelmaan dari Sang Hyang Widhi. Konsekuensinya,
Selain itu interaksi dengan agama Kristen yakni mengenal Trinitas yang diadopsi dari agama hindu yaitu Trimurti, menurut Trunyan, Trimurti adalah putra-putra dewa tetinggi yang maha pengasih. Penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.[3]


Referensi
Diakses pada tanggal 15 April 2016 dari http://www.surgabali.biz/trunyan.php



[1] Diakses pada tanggal 15 April 2016 dari http://www.surgabali.biz/trunyan.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar