Kamis, 09 Juni 2016

Resume Kelompok 4



AGAMA TRADISIONAL ORANG SAKAI

A.    Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam.  Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya.
Ada beberapa pendapat asal-usul orang Sakai di Riau diantaranya:
1.      Pendapat pertama mengatakan bahwa Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Hasil kawin campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.
2.      Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan Batusangkar. Menurut versi ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.
Adapun asal muasal orang Sakai menurut Parsudi Suparlan, dalam versi orang sakai itu sendiri adalah sebagai berikut:
1.       Perbatinan lima.
Orang sakai datang dari kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung ke daerah Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan lima. (lima dukuh). Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau, rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagarruyung. Oleh kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
2.       Perbatinan Delapan
Sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan istri, serta seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama batin sangkar) pada suatu malam meninggalkan Pagarruyung. Suatu ketika seorang istri hamil dan nyidam, dan meminta kepada suaminya untuk mencarikan bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Suami pergi berburu dan tidak pernah kembali, karena ia telah berjanji tidak akan menemui istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di pimpin oleh Batin Sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang perempuan tetap berangkat, dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah sang bayi besar, maka sang anak ibunya tersebut kembali ke Pagarruyung, dan meminta maaf kepada raja Pagarruyng, kemudian mereka menceritakan semua apa yang telah mereka alami. Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati hutan belantara dan rawa-rawa. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Oleh raja Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut di sebut dengan perbatinan delapan.[1]

B.     Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
1.  Hantu dalam Konsepsi Orang Sakai
Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi khusus. Hantu yang baik adalah hantu yang dapat dimintai bantuan ketika manusia memiliki kepentingan, sementara hantu yang jahat adalah hantu yang dapat mencelakakan manusia, misalnya hantu yang dapat mengirim penyakit, menimbulkan kemalangan, dan menyebabkan kematian.
Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.
Jika si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri urusan anggota keluarga yang masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan anggota keluarga yang masih hidup adalah harus pergi menyeberangi sungai, karena arwah orang mati diyakini tidak dapat menyeberangi sungai.
Masyarakat Sakai memercayai bahwa penyakit dan kematian ada yang disebabkan oleh hantu. Hantu-hantu itu dapat dimintai bantuannya untuk menenung seseorang. Orang-orang ini biasanya adalah mereka yang dengan sengaja melanggar hukum adat yang telah disepakati bersama atau orang-orang yang bertindak secara sembarangan dan tidak memperhatikan bahwa di alam sekitar terdapat mahluk-mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Sedangkan manusia yang bersih hanya dapat diganggu oleh antu tetapi tidak dapat dicelakakan atau dibunuh olehnya.
Suparlan menyebutkan ada tiga jenis cara pengobatan yang berkembang dalam masyarakat Sakai, yaitu:
a.    Pengobatan Uras
b.    Pengobatan Jungkul
c.    Pengobatan Zdikir.


C.    Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai
Adapun upacara-upacara adat dan keagamaan suku Sakai akan lebih dijelaskan berikut ini:
1.      Upacara Perkawinan, Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Bahan untuk melamar. Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi: (Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
Tempat Pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah "batin". Tata Pelaksanaan Menurut Suparlan: tata laksana perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut: Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan. Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya perkawinan). Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah  dan terdaftar dan diakui pemerintah.
Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman.
2.      Upacara Penobatan Batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru, para batin orang sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis.
Pengangkatan seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam.
3.      Upacara Menanam Padi, sebelum dimulainya memanen si pemilik ladang menghubungi dukun atau bomo atau orang yang bertindak sebagai dukun. Upacara tersebut dimulai dengan membaca mantra oleh dukun. Mantra tersebut dibacakan di pagi hari, setelah mantra selesai dibacakan. Dicabutlah batang kayu jeruk limau yang berada di tengah ladang. Kemudian keluarga peladang mulai memanen dengan memotong dan mengambil padi menggunakan ani-ani selama satu hari penuh. Selama tiga hari sejak dilakukannya panen, peladang tidak boleh menerima tamu yang bukan kerabatnya. Setelah masa pantangan tiga hari tersebut dilalui, dilakukanlah panen padi secara besar-besaran.[2]

D.    Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-Agama Lain
Agama orang Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya adalah preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan seperti ini lebih menekankan pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk kepentingan-kepentingan praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat. Karena itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragama Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.

Referensi
Saputra, Syahrial De dan Nurbaiti Usman. Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau. Tanjung Pinang: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Cet. I. 2010


[2] Syahrial De Saputra dan Nurbaiti Usman, Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau, (Tanjung Pinang: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2010), Cet. I, h. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar