AGAMA TRADISIONAL ORANG SAKAI
A. Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Dari tempat
tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai
Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah
menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan
dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan
berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku
lainnya.
Ada beberapa pendapat asal-usul orang Sakai di Riau
diantaranya:
1.
Pendapat
pertama mengatakan bahwa Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang
Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada
zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid
dan Austroloid. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi,
datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau
Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang
migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok
ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Hasil
kawin campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang
orang-orang Sakai.
2.
Sementara
pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan
Batusangkar. Menurut versi ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk
Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah
timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya.
Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian
mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan
hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Keturunan
mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.
Adapun
asal muasal orang Sakai menurut Parsudi Suparlan, dalam versi orang sakai itu
sendiri adalah sebagai berikut:
1.
Perbatinan
lima.
Orang sakai datang dari
kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua gelombang migrasi.
Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung ke daerah
Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun rumah dan
tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan lima. (lima
dukuh). Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau, rombongan yang berjumlah
lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau hutan untuk mereka menetap
dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagarruyung. Oleh
kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri hak atas tanah-tanah atau
hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu, sungai Penaso,
sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
2. Perbatinan Delapan
Sebuah rombongan yang
terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah keluarga yang terdiri dari
suami dan istri, serta seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang
bernama batin sangkar) pada suatu malam meninggalkan Pagarruyung. Suatu ketika
seorang istri hamil dan nyidam, dan meminta kepada suaminya untuk mencarikan
bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Suami pergi berburu dan tidak
pernah kembali, karena ia telah berjanji tidak akan menemui istrinya kalau
tidak dapat memenuhi permintaan istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di
pimpin oleh Batin Sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari
daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang
perempuan tetap berangkat, dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah
sang bayi besar, maka sang anak ibunya tersebut kembali ke Pagarruyung, dan
meminta maaf kepada raja Pagarruyng, kemudian mereka menceritakan semua apa
yang telah mereka alami. Rombongan
yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati
hutan belantara dan rawa-rawa. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman
baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai,
Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan
tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Oleh raja Siak
delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan
kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari
kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut di sebut
dengan perbatinan delapan.[1]
B.
Kepercayaan
dan Magi Orang Sakai
1.
Hantu dalam
Konsepsi Orang Sakai
Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya
memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung
dari situasi-situasi khusus. Hantu yang baik adalah hantu yang dapat dimintai
bantuan ketika manusia memiliki kepentingan, sementara hantu yang jahat adalah
hantu yang dapat mencelakakan manusia, misalnya hantu yang dapat mengirim
penyakit, menimbulkan kemalangan, dan menyebabkan kematian.
Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang
yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai
sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali
arwah bayi dan anak kecil. Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling
anggota keluarga. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur
tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota
keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Orang
Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota
keluarga mereka yang meninggal dunia.
Jika si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri
urusan anggota keluarga yang masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus
dilakukan anggota keluarga yang masih hidup adalah harus pergi menyeberangi
sungai, karena arwah orang mati diyakini tidak dapat menyeberangi sungai.
Masyarakat Sakai memercayai bahwa penyakit dan
kematian ada yang disebabkan oleh hantu. Hantu-hantu itu dapat dimintai
bantuannya untuk menenung seseorang. Orang-orang ini biasanya adalah mereka
yang dengan sengaja melanggar hukum adat yang telah disepakati bersama atau
orang-orang yang bertindak secara sembarangan dan tidak memperhatikan bahwa di
alam sekitar terdapat mahluk-mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Sedangkan
manusia yang bersih hanya dapat diganggu oleh antu tetapi tidak dapat
dicelakakan atau dibunuh olehnya.
Suparlan menyebutkan ada tiga jenis cara pengobatan
yang berkembang dalam masyarakat Sakai, yaitu:
a.
Pengobatan
Uras
b.
Pengobatan
Jungkul
c.
Pengobatan
Zdikir.
C.
Upacara Adat
dan Keagamaan Suku Sakai
Adapun upacara-upacara adat dan keagamaan suku Sakai
akan lebih dijelaskan berikut ini:
1. Upacara Perkawinan, Bahan-bahan
lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan. Bahan untuk melamar. Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai
dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang
dipersiapkan meliputi: (Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan;
gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat
dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
Tempat Pelaksanaan
Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah "batin". Tata Pelaksanaan
Menurut Suparlan: tata laksana perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan
apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut: Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan
oleh seorang "batin", perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua
laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga). Lalu "batin"
memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu
barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan. Penyerahan
Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan penyerahan mas kawin
dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya perkawinan).
Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin"
setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah
secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat.
Agar secara administratif sudah dianggap sah
dan terdaftar dan diakui pemerintah.
Pesta Perkawinan
(setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang
betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta
berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan
minum-minuman.
2.
Upacara
Penobatan Batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru, para batin orang
sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok
perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi
kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak
menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik
berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis.
Pengangkatan
seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu
upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam.
3.
Upacara
Menanam Padi, sebelum dimulainya memanen si pemilik ladang menghubungi dukun
atau bomo atau orang yang bertindak
sebagai dukun. Upacara tersebut dimulai dengan membaca mantra oleh dukun.
Mantra tersebut dibacakan di pagi hari, setelah mantra selesai dibacakan.
Dicabutlah batang kayu jeruk limau yang berada di tengah ladang. Kemudian
keluarga peladang mulai memanen dengan memotong dan mengambil padi menggunakan
ani-ani selama satu hari penuh. Selama tiga hari sejak dilakukannya panen,
peladang tidak boleh menerima tamu yang bukan kerabatnya. Setelah masa
pantangan tiga hari tersebut dilalui, dilakukanlah panen padi secara
besar-besaran.[2]
D. Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan
Agama-Agama Lain
Agama
orang Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan
individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup jasmani dan rohani
dan kegiatan-kegiatannya adalah preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan
seperti ini lebih menekankan pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi
untuk kepentingan-kepentingan praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti
tersebut di atas sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi
terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat. Karena itu agama orang
Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam
pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak
tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah
satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang
tidak sama dengan “zikir dalam Islam).
Suku
Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang
masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan
Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya:
sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen,
di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang
tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Sebagian dari orang-orang
Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara
kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya
mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Kalau sehari-hari
orang-orang Sakai beragama Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu,
pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
Referensi
Saputra, Syahrial
De dan Nurbaiti
Usman. Kearifan Lokal yang
Terkandung Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau.
Tanjung Pinang: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Cet. I. 2010
Diakses pada tanggal 15 April 2016 dari http://wartasejarah.blogspot.co.id/2015/06/kebudayaan-suku-sakai-di-kecamatan.html
[1] Diakses pada tanggal 15
April 2016 dari http://wartasejarah.blogspot.co.id/2015/06/kebudayaan-suku-sakai-di-kecamatan.html
[2] Syahrial De Saputra dan Nurbaiti Usman, Kearifan Lokal yang Terkandung
Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau, (Tanjung Pinang: Direktorat
Jenderal Kebudayaan, 2010), Cet. I, h. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar