MAKALAH
Observasi Wilayah Jawa Tengah dan Kalimantan
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-agama Lokal
Dosen
Pembimbing: Siti Nadroh, M.Ag
Disusun
Oleh
Mustika Diani Dewi: 11140321000046
Maulaya Arinil Haq: 11140321000085
M. Rian Sujud Taufik: 11140321000077
Ikhwatun Muamalah: 11150321000046
Syifaul Husna: 11150321000066
M. Aris S. : 11150321000051
M. Edi
Irmawan: 11140321000013
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN
(UNIVERSITAS ISLAM NEGERI) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telah
kita ketahui bagaimana bentuk agama yang terdapat di pulau Jawa. Orang
jawa adalah orang yang berpenduduk asli jawa tengah dan jawa timur yang
berbahasa jawa atau orang yang bahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya menggunakan
bahasa jawa. Jauh sebelum agama masuk, Jawa sudah mengenal adanya tuhan yang
sering disebut dengan “Gusti kang murbeng dumadi”, pada waktu itu sangat
percaya dengan tuhan yang maha esa dalam cangkupan kehidupannya seperti tradisi
dan upacara yang dilaksanakannya.
Seperti
yang di jelaskan Koentjaraningrat berikut menyebut religiusitas Islam Abangan
dengan istilah Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri.Kategori
ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial
seperti santri, priyayi, dan abangan. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat dengan
Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang
cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama
Islam. Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam
baku.3 Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis
karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks).
Sementara Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran
agama secara ketat (ortodoks).
1.2 Rumusan Masalah
a.
Definisi Kejawen Jepara di Desa Punden
b.
Tradisi sembah Punden antara daerah pesisir dan pegunungan
c.
Kebudayaannya
1.3 Tujuan
Tujuandisusunnyamakalahiniialah
agar mahasiswadapatmengetahuidenganjelastentang Kejawen di pegunungan, tradisi
sembah Punden di daerah pesisir dan
pegunungan, serta kebudayaan-kebudayaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kejawen Jepara di Desa Tubanan
Orang jawa
adalah orang yang berpenduduk asli jawa tengah dan jawa timur yang berbahasa
jawa atau orang yang bahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya menggunakan
bahasa jawa. Kepercayaan ini disebut kepercayaan Kejawen. Kejawen adalah sebuah
kepercayaan atau agama yang di anut di Pulau Jawa dan suku bangsa lainnya yang
menetap di Jawa. Awal mula kejawen berasal dari sebuah kelompok
kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang
terorganisir seperti agama islam atau agama kristen.
Begitu juga
dengan kepercayaan kejawen yang berada di Jepara tidak jauh beda dengan itu.
Jauh sebelum agama masuk, di Jepara
sudah mengenal adanya tuhan yang sering disebut dengan “Gusti kang murbeng
dumadi”, pada waktu itu sangat percaya dengan tuhan yang maha esa dalam
cangkupan kehidupannya. Bisa disimpulkan bahwa jawa sudah mengakui tuhan
sebelum agama masuk ribuan tahun yang lalu, dan telah menjadi tradisi hingga
saat ini yaitu Kejawen. Namun, lama ini kejawen disana mulai terkikis dengan agama
islam. Lebih tepatnya di lokasi yang kami jadikan tempat observasi yaitu di
desa Tubanan, di Kecamatan Kembang Kabupaten
Jepara.
Berikut letak geografis dari desa tersebut Berdasar
letak geografis wilayah, desa Tubanan. berada di sebelah utara Ibu kota
Kabupaten Jepara. Desa Tubanan merupakan
salah satu Desa di Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara, dengan jarak tempuh ke
Ibu kota Kecamatan 8 Km, dan ke Ibu Kota Kabupaten 26 Km, dan dapat ditempuh
dengan kendaraan ± 40 menit. Desa ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah
utara, timur dengan Desa Balong; selatan dengan desa Kancilan dan desa Kaliaman
di sebelah barat. Luas wilayah daratan Desa Tubanan adalah 1.751,77 Ha. Luas lahan yang ada terbagi dalam
beberapa peruntukan, dapat dikelompokan seperti untuk fasilitas umum,
pemukiman, pertanian, kegiatan ekonomi dan lain-lain. Secara administratif wilayah desa Tubanan terdiri dari 43 RT, 7 RW, dan 4 dukuh. Pedukuhan yang ada yaitu dukuh
Krajan meliputi RW 1; dukuh Timbul meliputi RW 2; dukuh Duren meliputi RW 3, 4,
dan 5; serta dukuh Sekuping meliputi RW 6 dan 7.
Gambar 1. Peta Desa Tubanan
2.2 Tradisi Sembah Punden di Daerah Pesisir dan Pegunungan
Punden adalah suatu tempat yang dipercaya berupa makam atau
petilasan orang-orang yang berpengaruh pada daerah tersebut. Mereka yang
berdatangan ke punden tersebut bertujuan melakukan ritual-ritual tertentu
sebagai bentuk penghormatan pada Danyang yang ada di Punden tersebut.
“Punden dijadikan tempat untuk berziarah, bersemedi atau untuk
bertafakkur, karena tempat itu di yakini sebagai tempat yang sakral dan suci. Pada
intinya kegiatan-kegiatan itu juga menjadi suatu bentuk penghormatan pada sang
leluhur”, ujar pak Hendroyono, selaku pengurus dari padepokan Cakra Latifah di
daerah Klumosari.
Danyang adalah Seseorang yang berkiprah di suatu desa atau tempat
dengan menjadi orang pertama (babat alas) atau tokoh spiritual yang disepuhkan
yang meninggal atau pernah berada di sana. Disini kita mengambil dua daerah
yaitu desa Klumasari merupakan daerah pegunungan, dan desa Tubunan di daerah
pesisir. Namun, antara dua daerah tersebut mempunyai anggapan yang hampir sama
tentang pengertian punden tersebut, yaitu kepercayaan terhadap makam yang
dikramatkan dari danyang yang diyakini di daerah tersebut.
“Danyang oleh masyarakat sekitar selain menjadi orang yang
berpengaruh di daerah tersebut, mereka juga dipercayai sebagai Bawuh Rekso (yang
menjaga) atau sosok penguasa di suatu daerah”, ujarnya pak Hendroyono sebagai
argumen penguat penjelasannya.
Danyang ada yang dari bangsa manusia dan ada yang berupa makhluk
halus. Salah satu contoh Punden-Punden ini bisa dilihat di Desa Tubanan di
Jepara, banyak makam-makam atau tempat keramat yang oleh masyarakat sekitar menjadikannya
Punden, seperti makam keluarga Mariyah, Komplek pemakaman
keluarga Ki Mariyah terletak di Rt 04 Rw 01 dukuh Krajan. Oleh masyarakat, ki
Mariyah adalah orang yang membabat tanah Tubanan.
Selain
itu ada petilasan mbah kyai Agung Alim yang konon dia adalah sosok tokoh spiritual
di daerah Tubanan. Punden mBah Kyai Agung Alim adalah
merupakan situs yang diyakini keramat oleh penduduk Tubanan. Situs ini meskipun
dibangun layaknya makam tetapi sebenarnya merupakan petilasan atau tempat
singgah. Kyai Agung Alim diyakini oleh masyarakat setempat sebagai waliyullah
yang menjadi waliyyul qoriyah atau tokoh spiritual religius bagi desa Tubanan.
Hari keramatnya adalah tiap hari senin pahing.
Gambar
1. Punden mbah Kyai Agung Alim
Namun, disini ada tambahan pengertian tentang bentuk
punden Di daerah Ngelo berupa punden makam Mbah Tengong. Ki Tengong atau Ki
Tekong sebagai cikal bakal warga Ngelo ujung barat dukuh Sekuping. Berikut
bentuk makamnya
Gambar
2. Punden Ki Tengong
Sedangkan di Klumosari terdapat punden mbah Mendung.
Beliau merupakan babat alas di desa
tersebut. Selain itu ada beberapa situs sejarah yang dikeramatkan oleh orang-orang
desa Tubanan seperti berikut:
1.
Belik Lanang
Belik
sendiri mempunyai arti sumber mata air, sedangkan lanang adalah
laki-laki. Belik lanang merupakan sumber mata air dibawah jembatan yang
menghubungkan dukuh Krajan dengan dukuh timbul pada daerah aliran sungai
Kleprak/ kali Juwet. Belik ini dahulu digunakan untuk mandi dan cuci serta
mengambil air minum khusus penduduk laki-laki.
2.
Belik
Wedok
Lokasi Belik Wedok (wanita)
berada sekitar 200 meter di sebelah timur Belik Lanang pada daerah
aliran sungai Kleprak. Sumber mata air ini dulunya digunakan untuk berbagai
keperluan mandi, cuci dan sebagainya khusus kaum wanita. Dari adanya kedua
belik tersebut mengandung nilai filosofi budaya yang sangat tinggi yang
mencerminkan masyarakat Tubanan sangat menjunjung tinggi nilai kesoopanan
terutama pergaulan pria dan wanita.
3.
Belik
Tumpuk
Dinamakan Belik Tumpuk
karena mata air keluar dari sela-sela batu besar yang tersusun
bertumpuk-tumpuk secara alamiah. Sumber mata air ini untuk memenuhi kebutuhan
air rumah tangga dan irigasi pertanian. Letaknya di aliran sungai yang sama
dengan Belik Lanang dan Belik Wedok kisaran 350 meter sebelah timur Belik
Wedok.
Dari ketiga sumber mata air tersebut di masa Tubanan awal bisa
terpenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sehingga pada masa lalu keberadaan
ketiganya sangat dikeramatkan. Ini mungkin merupakan upaya para pendiri Tubanan
untuk melestarikan sumber daya alam mereka. Sangat terlihat hubungan yang
harmonis antara alam dan manusia.
2.3 Ritual Kebudayaannya
1.
Manganan
Manganan adalah
salas satu tradisi dalam aliran kejawen di desa tubanan, jepara yang merupakan suatu upacara rutinan tiap tahun yang di
lakukan di dekat makam Mbah Kyai Agung Alim, dengan masyarakat
berbondong-bondong datang ke makam membawa makanan di
sana melakukan do’a bersama untuk rasa berterima kasih atas mbah Kyai Agung
yang telah membabat alas desa tubanan, setelah berdoa bersama mereka memakan
makanan yang mereka bawa dengan tujuan membawa keberkahan dan kerukunan
masyarakat setempat.
2.
Sedekah bumi
Sedekah bumi
merupakan ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat desa Tubanan dan
masyarakat di desa-desa lain. Tubanan melaksanakan ritual sedekah bumi tiap
hari Senin Pahing bulan Besar (bulan Jawa). Bila di bulan Besar tidak dijumpai
hari Senin Paing maka pelaksanaan sedekah bumi pada hari Senin Pahing bulan
Syawal.
Rangkaian acara
sedekah bumi siang hari diramaikan dengan pertunjukan tayub dan malamnya dengan
pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dan satu minggu sebelum acara sedekah
bumi dilakukan ritual manganan di punden. Selain itu pada tradisi sedekah bumi
di desa Tubanan setiap satu Windu ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu
menyembelih kebo bule atau kerbau bule. Berikut bentuk-bentuk dari acara
sedekah bumi:
a.
Sedekah Bumi Dukuh Sekuping
Ritual ini dilakukan seminggu setelah sedekah bumi desa Tubanan.
Kegiatannya dilakukan di dukuh Sekuping. Seminggu sebelumnya diadakan manganan
di makam dukuh Sekuping.
b.
Sedekah Laut
Ritual
semacam sedekah bumi hanya lokasinya di pantai Bayuran. Seminggu sebelumnya
diadakan ritual manganan di punden mBah Suto di kampung Bayuran. Sedekah laut
merupakan ritual ungkapan nterima kasih dan syukur pada Yang Kuasa atas berkah
rejeki dan keselamatan yang dilimpahkan pada para nelayan.
c.
Bodo Apem
Bodo
apem merupakan ritual selamatan dengan hidangan kue apem. Dulu ritual ini
dipusatkan di Balai Desa dan di rumah-rumah Kamituwo. Ritual dilakukan pada
bulan Apit setiap tahun.
3.
Kenduren
Kenduren merupakan salah satu acara yang dilakukan
masyarakat tubanan dan sekitarnya ketika ada orang meninggal, menikah, lahirnya
bayi, atau khitanan dll. Pelaksanaan ritual ini dilakukan dengan cara orang
yang punya hajat mengundang para tetangga untuk berdoa bersama untuk kemudian
dihidangi makanan. Di tengah-tengah
kerumunan orang yang berdoa biasanya diberi sesajen beserta perlengkapanya yang
ditujukan untuk bangsa lelembut.
4.
Nyumpet
Nyumpet adalah
ritual yang di lakukan oleh sebagian orang kejawen Jepara. Ritual ini di
lakukan ketika ada upacara pernikahan, ritual ini biasanya dilakukan oleh tuan
rumah dengan cara menaruh guci-guci yang sudah diisi dengan syarat yang berlaku
didesa tersebut (biasanya berupa makanan hasil bumi) di sudut-sudut rumah. Hal
ini dimaksutdan agar makanan yang di sajikan kepada tamu tidak terasa banyak,
karna guci yang sudah berisi syarat-syarat juga mantra itu akan menangkal para
apa-apa yang ingin bermaksut jelek terhadap tuan rumah, termasuk mencuri
makanan-makanan yang sudah di sajikan.
5.
Metik
Metik adalah
ritual yang di lakukan ketika orang-orang kejawen mau melakukan panen padi
dengan membawakan sesaji di sawah untuk di persembahkan kepada Dewi Sri dan Mbah
Dadu Ngawuh sebagai rasa berterimakasih atas padi yang akan di panen dan atas
penjagaan dari mulai menamam sampai mau panen padi itu dari sesuatu yang tidak diinginkan
dari petani tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku Kutai merupakan suku asli dari
Kalimantan, yang merupakan suku pecahan dari suku Dayak. Sekarang ini di suku
Kutai mayoritassaatiniberagama
Islam danhidup di tepisungai Mahakam. Orang Kutai juga disebut Halok atau Halo’
karena orang kutai dahulu termasuk masyarakat Dayak namun karna adanya
Islam masuk maka masyarakat yang memeluk agama Islam disebut Behalok
(orang yang meningalkan adat). Jadi Halok
panggilan yang membedakan masyarakat Dayak pemeluk Islam dengan masyarakat
Dayak yang tidak memeluk Islam. Lambat laun
masyarakat Halok mengganti namanya menjadi Kutai.
Di Suku Kutai terdapat warisan budaya yang sangat
menarik, hingga kami tertarik untuk meneliti suku ini. Berikut diantara:
Pernikahan, Kematian dan juga upacara yang Erau yang berarti Meriah. Salah satu
yang paling ditunggu dan meriah disana yaitu Erau, dimana upacara ini
dilaksanakan selama 7 hari 7 malam.
1.2 Rumusan masalah
a. Bagaimanasejarahdan asal-usul suku Kutai ?
b. Bagaimana letak geografis suku Kutai ?
c. ApaupacarakeagamaansukuKutai ?
d. Apa Mitos-mitos dalam suku Kutai?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui sejarah dan asal-usul
suku Kutai.
b. Untuk mengetahui letak geografis suku
Kutai.
c. Untuk mengetahui upacara keagamaan suku Kutai.
d. Untuk mengetahui mitos-mitos suku Kutai.
e. UntukmengetahuiinteraksikepercayaanSukuNauludengan
agama-agama lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah AsalUsulSukuKutai dan Bahasa Kutai
Pada awalnya Kutai bukanlah nama
suku, akan tetapi nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan
nama suku (etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam pada abad
ke-17 dan akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina,
Banjar, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti Kartanegara dari Majapahit
yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai Martadipura ) pada saat itu
mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan Suku Dayak saat ini. Oleh karena itulah Suku Kutai asli akan
menyebut Suku Dayak dengan istilah Densanak
Tuha yang artinya Saudara Tua
karena masih satu leluhur.
SukuKutaiatauUrangKutaiadalahsukuasli
yang mendiamiwilayah Kalimantan Timur yang mayoritassaatiniberagama Islam danhidup di
tepisungai
Mahakam. Orang Kutai juga disebut Halok atau Halo’ karena orang
kutai dahulu termasuk masyarakat Dayak namun karna adanya Islam masuk maka
masyarakat yang memeluk agama Islam disebut Behalok (orang yang
meningalkan adat). Jadi Halok panggilan
yang membedakan masyarakat Dayak pemeluk Islam dengan masyarakat Dayak yang
tidak memeluk Islam. Lambat laun
masyarakat Halok mengganti namanya menjadi Kutai.
Suku Kutai memiliki bahasa yang bermacam-macam dan
ada sub-sub suku yang sudah tidak digunakan seperti Umaa Wak, Umaa
Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo dan Umaa
Sam. Pada masa dahulu bahasa-bahasa itu lazim dituturkan oleh urang Kutai
hulu dan hilir mahakam. sementara bahasa yang sampai sekarang masih digunakan
yaitu bahasa kutai Tenggarong, Kutai Kota Bangun, Kutai muara kaman dan Kutai
Sengatta atau Sangatta.
2.2 Letak Geografis Suku Kutai
Masyarakat
Kutai bertempat tinggal di Kabupaten Kutai kartenegara yang merupakan sebuah
kabupaten di Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu Kota berada di kecamatan
Tenggarong. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 KM2
dan
luas perairan sekitar 4.097 KM2 yang dibagi dalam 18 wilayah
kecamatan dan 225 desa atau kelurahan dengan jumlah penduduk 626.286 jiwa pada
sensus 2010. Secara geografis Kabupaten Kutai Kartanegara terlatak antara 115o
26’28” BT-117O 36’43” BT dan 1o 28’21” LU-1o 08’06”
LS.[1]
2.3 Upacara Adat Suku Kutai
1.
Pernikahan
Upacara pernikahan adat kutai ada beberapa tahap:
a.
Acara Bedatang
Pada acara ini pihak laki-laki melakukan kunjungan atau silaturahmi
kepihak perempuan dengan membawa uang seserahan (Sumahan) sekaligus
membicarakan waktu dan tempat yang tepat untuk melaksanakan pernikahan agar
mendapat keberkahan. Kedua keluarga ini saling berunding dan bertukar pikiran
untuk menemukan keputusan yang tepat bagi pernikahan putra dan putri mereka.
Biasanya calon pengantin laki-laki tidak dilibatkan dalam acara ini. Acara
seperti ini masih dilakukan oleh masyarakat suku kutai di Desa Teratak dan
belum ada perubahannya. Masih sama seperti yang dulu.
b.
Besorong Tanda
Pada acara ini keluarga pihak lelaki berkunjung lagi kepada keluarga
pihak perempuan dengan membawa cincin yang ditujukan untuk calon pengantin
perempuan dengan tujuan mengikatnya agar sang perempuan tidak lagi bisa dilamar
oleh lelaki lain karna sudah diikat dengan cincin tersebut walaupun belum
melaksanakan akad. Mungkin bahasa gaulnya sekarang adalah tunangan, namun tidak
bertukar cincin, Hanya menyerahkan bukti pengikat saja berupa cincin. Acara
besorong tanda ini juga masih dilaksakan masrarakat di Desa Teratak dan belum
ada perubahan-perubahan yang dilakukan.
c.
Beluluran, Betimung dan Bepacaran
Acara yang ini biasanya dilakukan oleh pengantin perempuan kecuali
berpacaran. Bepacar adalah terdiri dari daun pacar yang ditumbuk halus dan
diberi bentuk bundar seperti bentuk kelereng dan diletakkan di ujung jari atau
kuku telunjuk dan ujung jari atau kuku jari manis pada masing-masing mempelai.
Pacar mempelai wanita maupun laki-laki ditempatkan pada wadah tradisional
kemudian dipertukarkan dan diarak pada mempelai masing-masing yang berada di
rumah masing-masing dengan dalam keadaan mempelai wanita maupun laki-laki duduk
di atas tilam kasturi.
Makna upacara berpacar ini
ialah sebagai kelengkapan penghias pada acara naik pengantin dan sebagai tanda
bahwa mempelai wanita maupun laki-laki ini pengantin baru. Biasanya acara ini
dilakukan berturut-turut 3 sampai malam atau 1 malam saja.Beluluran yang
dipakai adalah bedak dingin (Pupur basah) yang dicampur dengan temu giring
(tumbuhan sejenis kunyit yang berwarna kuning) dengan tujuan agar kulit
pengantin perempuan akan bercahaya kuning sekuning langsat. Acara betimung ini
merupakan acara pembungkusan diri yang dilakukan dengan cara duduk diatas
tungku yang dibawahnya berisi rebusan rerempahan berupa laos, serai wangi dan
sebagainya dengan menggunakan sarung lalu tubuh kita akan ditutup dengan kain
lagi atau apa saja yang bisa dijadikan penutup hingga kepala agar uap yang
dikeluarkan dari bawah tidak akan lari kemana-mana.
d.
mendi-mendi
upacara mendi-mendi ini ialah dimana mempelai disiram atau
dimandikan dengan air bunga-bunga yang sudah disiapkan. Bagi mempelai wanita
yang menyiram oleh para wanita dari sesepuh keluarganya dan begitu pula
mempelai laki-laki.
e.
Bealis
menurut keyakinan masyarakat suku kutai bahwa setiap wanita yang
akan menikah harus dicukur alisnya agar wajahnya berubah atau menimbulkan
cahaya yang cantik sehingga orang akan melihat perubahan itu pada
wajahnya. makna upacara ini ialah untuk mendapat berkah dari orang tua dan
kedua memperindah dan mempercantik diri untuk jenjang pernikahan ini.
f.
Naik pengantin atau Betatai
Upacara naik pengantin merupakan upacara puncak dalam adat Kutai
yang terdiri dari:
1.
mengarak pengantin pria yang
diiringi oleh para keluarga dan membawa sumahan yang diiringi lantunan rabbana
menuju ke tempat pengantin wanita
2.
Sampai ditempat kediaman pengantin wanita meengucapkan shalawat
nabi dan di hamburkan beras kuning sebagai rasa syukur menerim pengantin pria.
g.
Naik mentuha
Makna upacara naik mentuha ialah rasa patuh dan sayang pada orang
tua serta mohon doa restu dan sebagai tanda kedua mempelai sudah siap pada
kehidupan selanjutnya.[2]
2.
Upacara Kematian
Untuk upacara kematian suku Kutai seperti pada umumnya dimandikan,
disholatkan lalu dikuburkan namun upacara kematian untuk kerajaan sangat khusus
dan tertutup sehingga upacara kematian Kerajaan hanya bisa di hadiri oleh para
keluarga raja.
3.
Upacara Erau
KesultananKutaipernahmengembangkansuatutradisipenobatan
raja yang disebutErau.Namaupacarainiberasaldari kata eroh yang berarti
"ramai", haliniberkaitandengankeriuhansuasanapadawaktupenobatan raja
berlangsung.Walaupunkesultananitusudahtidakadalagi,
tetapitradisiEraumasihdilakukanolehketurunanbangsawanKutaidenganmengalihkannyamenjadi
Festival kebudayaanrakyatKutai, sekaligusperayaanharijadiTenggarong. Erau
dilakukan setahun sekali yang biasanya pada bulan Juni dengan kurun waktu acara
7 hari. Ada beberapa tahap acara erau, yaitu :
1. H-1 acara
pada malam hari ditembakkan meriam sebanyak satu kali, dan ketika hari pertama
acara malamnya ditembakkan sebanyak dua kali, haru kedua acara malamnya ditembakkan
sebanyak 3 kali begitu seterusnya hingga 7 kali meriam yang menandakan malam
terakhir upacara Erau ini.
2. Beluluh
Sultan
Acara di dilakukan di Teras Keraton, beluluh dilakukan
agar Sultan Kutai bersih dari unsur-unsur jahat. Ritual ini dilakukan besmaa
dewa-dewa dan beliannya. Dewa-dewa ini biasanya wanita memakai baju berwarna
kuning dan beliannya laki-laki dengan hiasan bentuk segitiga di kepala, hiasan
rambut panjang dan juga telanjang dada.
Proses acara ini para belian yang membaca
mantra atau dalam bahasa kutai Bememang. Bememang berisi doa-doa para
belian untuk memohon keselamatan bagi Sultan Kutai.Setalah ini barulah para
abdi menggelar tikar dan beras tambak karang yang berwarna-warni, biasanya
masyarakat kutai berdatangan ke Teras Keraton karena mereka percaya bahwa beras
tambak yang telah digunakan Sultan lalu disimpan bisa mendapatkan berkah dan
keberuntungan.
3. Menjamu
Benua
Di acara
ini lah para Kerajaan memberi makan kepada makhluk gaib yang ada diseluruh
Kutai Kartanegara, sekaligus memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar sultan
serta kerabatnya diberi keselamatan, dan juga berdoa untuk seluruh masyarakat
Kutai. Ritual ini juga sebagai memohon
izin kepada para makhluk gaib bahwa masrakat Kutai ingin melaukan Upacara Erau.
4. Tari-tarian
Acara
selanjutnya acara dimana masyarakat Kutai disuguhi tarian-tarian yang sangat
meriah dan diakhiri penyalaan obor sebagai simbol upacara Erau telah dibuka.
Dihari-hari berikutnya yang disuguhi festisal dan expo yang meriah.
5. Behimburan
Behimburan merupakan acara terakhir yang sangat
ditunggu-tunggu masyarakat Kutai, dimana ketika suling di tiupkan yang biasanya
pada pukul 09.00 maka saat itulah behimburan dimulai. Behimburan yakni acara
diamana masyarakat Kutai keluar rumah dan menghimbur atau menyiram satu sama
lain dengan air bersih atau air dari sungai mahakam yang bermakna sebagai
pembersih diri masyarakat Kutai.
2.4 Mitos-mitos Kepercayaan Suku Kutai
Sebagaimana
suku lain suku Kutai juga mempunyai mitos-mitos kepercayaan yang unik, yaitu :
a.
Hiduplah seorang petinggi Jaitan layar dengan istrinya tinggal
disebuah gunung, ditempat dimana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan
hidup sehari-hari. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami-istri, namun dewa d
kayangan belum juga menganugrahkan seorang anak pun sebagai penyambung dari
keturunan mereka untuk memerintahkan negri Jaitan layar ini, sering petinggi
Jaitan Layar bertapa bersama istrinya, menjauhi rakyat dan kerabatannya,
memohon kepada dewata.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tidur dengan nyinyaknya
terdengar suara diluar yang begitu gegap gempita hingga menyentakan dari tidur
peraduan, mereka pun bangkit dan membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang
terjadi diluar rumah. Nampaklah sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas
ke tanah di depan mereka, suasana mlam yang tadinya gelap gulita kini menjadi
terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan
alam yang terang benderang itu, petinggi beserta istrinya segera kembali masuk
ke dalam rumah serta menguncinya dari dalam, mereka mendengar suara yang
menyerunya “sambut mati babu. Tiada sambut mati mama” sampai tiga kali
suara ini didengar oleh Petinggi Jaitan Layar, dan akhirnya dengan rasa cemas
dijawabnya juga”Ulur mati lumus, tiada diulur mati Lumus” jawab si
petinngi dan terdengarlah gelak tawa dari luar rumah dan berkata “ barulah
ada jawaban dari tutur kita” mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat
gembira sekali, karena tutur katanya mendapat jawaban.
Petinggi Jaitan layar tidak merasa takut lagi kemudian keluar
bersama istrinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga emas,
raga meas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya petinggi beserta isinya
tatkala melihat didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti lampin
berwarna kuning, tangan sebelahnya memegang sebuah telur ayam dan sebeahnya
memegang kris dari emas. Pada saat itu, menjelmalah 7 dewa yang telah
menjatuhkan raga emas itu, mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka
yang gembira, memberi salam dan salah
seorang dewa itu menyapa petinggi “berterimakasihlah kepada dewata karna
doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak, meskipun tidak melalui rahim istrimu.
Bayi ini adalah turunan dewa-dewa, karna itu jangan dipelihara seperti anak
biasa” .
Dewa ini juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan
diletakkan disembarang tikar, tetapi selama 40 hari 40 malam bayi ini harus
dipangku berganti-ganti oleh para kerabat petinggi. Dan bilamana engkau
memnadikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, asalkan tetap diberi air
yang sudah diberi bunga wangi. Anak
inilah yang diberi nama Putri Karang Melenu yang konon wanita yang sangat
cantik pada zamannya. Dan si Putri Karang Melenu ini adalah Istri dari Aji
batara Agung Dewa Sakti yang merupakan raja pertama di Kerajaan Kutai
Kartanegara.
b.
Kepuhunan
Kepuhunan ialah
dimana seseorang yang menginginkan sesuatu atau belum melaksanakan sesuatu akan
tertimpa celaka. Maka jika kita ingin sesuatu tetapi belum bisa mendapatkannya
maka masyarakat kutai percaya agar tidak terjadi kepuhunan atau tertimpa celaka
itu dengan cara menjilat jari telunjuk tangan kanan lalu jari tersebut
menempelkan jarinya di leher.
c.
Patung Lembuswana
Lembuswana diyakini binatang yang berbadan gajah dan bersisik emas
serta mempunyai dua sayap sebagai tunggangan Raja Kutai yang setia, ketika Raja
Kutai mendekati Lembuswana maka sang tunggangan ini pun duduk agar Raja Kutai
dapat menaikinya.Leluhur warga Kutai mempercayai bahwa Sang
Lembuswana merupakan tunggangan Mulawarman, yang bertakhta sebagai raja Kutai
sekitar 1.500 tahun silam.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari data observasi kita
adalah adanya kepercayaan Punden di daerah Tubanan, dan Klumosari. Maksut
kepercayaan itu adalah kepercayaan kepada makam-makam yang memang dianggap
mereka penting, dengan istilah dayang. Selanjutnya disana terdapat beberapa
kebudayaan, diantaranya Manganan yaitu salas
satu tradisi dalam aliran kejawen jepara yang merupakan suatu upacara rutinan
tiap tahun yang di lakukan di dekat makam Mbah Kyai Agung Alim, sedekah bumi,
kenduren, nyumpet, dan metik.
Selanjutnya Suku Kutai di daerah Kalimantan, suku Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi
sungai Mahakam. Orang Kutai juga disebut Halok atau Halo’ karena
orang kutai dahulu termasuk masyarakat Dayak namun karna adanya Islam masuk
maka masyarakat yang memeluk agama Islam disebut Behalok (orang yang
meningalkan adat).Disana terdapat upaca yang unik dan meriah yaitu upaca Erau,
selain itu terdapat keunikan tahapan upacaranya seperti di pernikahan dan
kematian.
3.2 Saran
Makalah ini hanya mengambil sebagian kecil dari apa yang kita
bahas. Maka dari itu di sarankan buat pembaca supaya lebih mendalami dari
tulisan-tulisan lain agar bertambah dalam kepahaman dan ilmu yang didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Lampiranlaporan
[1] Diakses dari http://www.wacananusantara.org/suku-kutai/
pada tanggal 10 mei 2016.
[2]Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kutai_Kartanegara pada tanggal 11 mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar