AGAMA TRADISIONAL ORANG DAYAK
1.
Asal Usul Orang Dayak
Nenek
moyang suku Dayak berasal dari wilayah pegunungan Yunan bagian selatan
berbatasan deangan Vietnam sekarang. Kelompok migran yang masuk ke Wilayah Kalimantan
Tengah sekarang dan menjadi nenek moyang sebagian besar orang/suku Dayak di
Kalimantan Tengah merupakan bagian dari perpindahan bangsa-bangsa ke-II pada
abad ke IV.
Berdasarkan
legenda dan cerita para pendahulu, nenek moyang suku Dayak yang mendiami
Kalimantan Tengah sama sekali tidak ada kelompok yang masuk dari muara-muara
sungai di sebelah selatan wilayah Kalimantan Tengah yaitu dari arah laut Jawa.
Seluruhnya masuk wilayah Kalimantan Tengah melalui bagian uatara dan timur.
Dalam
puisi TETEK TANUM disebutkan bahwa nenek moyang orang Dayak berasal dari
Kerajaan Langit, diturunkan dengan Palangka Balau di:
a.
Tantan
Puruk Pamantuan
b.
Tantan
Liang Mangan Puruk Kaminting
c.
Puruk
Kambang Tanah Siang
yang dimaksud
Kerajaan Langit yaitu menunjukkan kepada kerajaan-kerajaan di Cina pada waktu
itu.
Nenek
moyang orang Dayak Kalimantan Tengah menyebar dari arah utara yaitu hulu sungai.
Asal usul orang dayak bukan dari ras melayu melainkan dari ras Neo-mongolik.
Berpindahnya nenek moyang suku Dayak dari daerah asal (pegunungan Yunan) dapat
dipastikan telah mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Dayak
adalah sungai. Kata Dayak yang artinya sungai terdapat pada suatu anak suku
Benuaq di Kalimantan Timur serta bahasa local di Kalimantan Barat dan Serawak.[1]
Suku Dayak (Ejaan
Lama: Dajak ayau Dyak) adalah nama yang diberikan oelh penduduk pesisir pulau
Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang menduduki Pulau Kalimantan. Suku
Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun, setelah orang-orang
Melayu dari Sumatera dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin
mundur kedalam.[2]
Ditambah lagi kedatangan orang Bugis, Makassar dan Jawa. Suku Dayak
terpencar-pencar ke beberapa wilayah daerah Kalimantan. Suku ini memiliki
beberapa suku yang mempunya perilaku dan sifat yang berbeda.
2.
Mite dan Magi Orang Dayak
a.
Mite Orang Dayak
Dalam mite orang Dayak, legenda dan
cerita-cerita rakyat akan ditemui berbagai macam dewa-dewa, roh-roh ghaib, dan
semacamnya. Keseharian orang Dayak sebagian besar berpatokan pada tradisi yang
diwarisi nenek moyangnya. terdapat salah satu mite yaitu mite penjadian, dalam
mite orang Dayak terdapat salah satu mite, mite tersebut dituturkan bahwa
segala sesuatu terjadi dalam beberapa tahap:
1)
Pada
tahap pertama, yaitu sebelum alam semesta dijadikan, semula yang ada adalah dua
bukit, tempat kediaman kedua dewata yang tertinggi, yaitu Bukit Emas dan Bukit
Permata.
2)
Tahap
kedua, tidak diceritakan dengan jelas, yang terang ialah, bahwa pada akhir
tahap kedua ala mini alam atas dan alam bawah sudah terjadi sebagai suatu
totalitas. Akan tetapi pada waktu itu belum ada manusia dan tempat kediaman
manusia.
3)
Pada
tahap ketiga, Mahatala memanggil Jata untuk berunding dialam atas. Dalam
perundingan itu Mahatala mengangkat mahkotanya keatas. Perbuatan ini menyebabkan
tumbuhnya sebatang pohon-hidup yang memiliki daun dari emas dan buah dari
daging.[3]
b.
Magi Orang Dayak
Orang Dayak memperoleh ilmu maginya dari berbagai sumber yaitu
dengan mengaji/basurah adalah salah satu cara untuk mendapatkan ilmu magis
Dayak dari seorang guru dengan membayar syarat yang disebut SARAT PANDUDUK.
Balampah yakni dapat bertemu dengan dewa, Sengiang ataupun arwah yang sudah
meninggal. Barlampah biasanya dlakukan dengan dua cara yaitu: atas dasar
mengaji dan keinginan diri sendiri. Katuahan, ilmu yang diperoleh secara
kebetulan disebutu katuahan atau keberuntungan. Peristiwa ini tergolong langka.
Dan ilmu-ilmu lainnya, yang bisa
menambah ilmu menurut orang Dayak.[4]
3.
Struktur Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan Ajarannya)
Kaharingan berasal dari
bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’
Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing
atau Pohon Kehidupan.
Seperti halnya dengan
agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terabaikan, dan
terpinggirkan. Bagi sebagian orang, Kaharingan dianggap sebagai Agama
Helo alias agama lama, Agama Huran alias agama kuno, atau Agama
Tato-hiang alias agama nenek-moyang.
Kaharingan yang sudah
dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua jenis.
Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan
campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga kepercayaan
asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok.
Menurut kepercayaan
ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai,
pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara
sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”,
sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan
Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah
disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah
rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangakan untuk hari raya
atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual
kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Sebagai kepercayaan,
Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat,
tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun.
Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan
juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah
(kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan
upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan dan Buku Penyumpahan /
Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sebagai agama
kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Kaharingan telah
ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.
Bedasarkan BPS, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah yang terdiri dari 13
Kabupaten dan 1 Kotamadya terdapat 223.349 orang penganut agama kepercayaan tersebut.[5]
4. Upacara Adat Kematian Orang Dayak ( Dayak, Benuaq,
Kanaytan, Ngaju, Maanyaan, dll)
a.
Dayak Benuaq
Prosesi adat kematian Dayak Benuaq
dilaksanakan secara berjenjang.
Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka.
Alam
baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat
tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak
mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq
telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan,
bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini
jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk
menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha
menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan
sebaik-baiknya. Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian: Parepm Api, Kenyauw, Kwangkai Kewotoq
(Kwangkey).[6]
b.
Dayak Kanaytan
Kuburan bagi Suku Dayak Kanaytan disebut
"Patunuan" artinya tempat pembakaran. Bila
ada kematian, maka seluruh anggota suku akan bergotong royong dengan cara
bekerja sesuai keahlian, untuk mempercepat upacara penguburan Jenazah sebelum diberangkatkan ke kuburan, di letakan tiga gumbal
tanah. Segumpal di kepala, disini kiri dan kanan diletakan segumpal. Kedua belah mata dan pusar jenazah di tutupi dengan uang logam.
Dihiasi seakan masih hidup, diberi minyak wangi dan ditutupi kain putih baru. Setelah semua sudah selesai terlaksana maka jenazah akan dibawa ke
"Panutuan" tempat pembakaran Dayak Kanaytan.
Adapun proses yang dilakukan setelah
itu adalah sebagai berikut:
1)
Jenazah
tidak boleh dibakar dgn Kayu sembarangan. Harus kayu dari pohon berbuah yang
bisa dimakan seperti Langsat, durian, rambutan dll.
2)
Api
pembakaran juga harus diambil dari dapur rumah duka. Pelaku pembakaran : 3 dari
pihak orang tua bapak dan 3 dari pihak orang tua Ibu.
3)
Pihak
Bapak berdiri di kanan dan pihak Ibu berdiri di kiri jenazah. Kepala adat
berdiri di Ujung Kepala jenazah. Masing-masing memegang niru.
4)
Pembakaran
Jenazah harus sampai menjadi Abu. Selama dibakar menurut kepercayaan Dayak
Kanayatn, jiwa orang mati melayang menuju Subayangan
5)
Selesai
penguburan, seluruh peserta harus pulang ke rumah duka. Di depan rumah duka
dibuat api yang khusus yang harus
dilewati. Orang-orang melewati api kemudian pergi membersihkan diri dengan air.
Artinya agar segala setan,perusak, pengganggu diusir dan dicegah masuk.
6)
Selama
3 hari selesai penguburan. Seluruh keluarga bergotong royong membuat berbagai
bentuk perabot dari kayu. Berupa meja, kursi dan lain-lain.
7)
Segala benda yang pernah dilihat orang mati
itu selama hidupnya. Dan seluruh Patung tersebut dibawa kekuburan. Kemudian
mereka berdoa ke Jubata, maksudnya agar arwah/roh orang mati itu tidak lagi
datang ke rumah dan arwah di terima di Subayangan - Sorga tingkat ke tujuh.
8)
3
hari kemudian (hari ke 6 setelah "Patunuan"). Keluarga mengantar
makanan ke pekuburan untuk berhubungan terakhir dengan jiwa orang meninggal
9)
Pada
hari ke-7 diadakan upacara di rumah duka. Wajib disediakan 1 piring berisi Abu,
1 piring berisi air dan 1 piring berisi makanan.
10)
Ke-3 piring tersebut diletakan ke tangga rumah
yang dijaga Tetua Adat. Dengan urutan piring makanan, piring air dan piring
Abu.[7]
Pada dasarnya
Upacara (adat) kematian merupakan berbagai jenis upacara (serangkaian) dari
kematian sampai beberapa upacara untuk mengantar adiau/ roh ke tumpuk adiau/
dunia akhirat. Berikut beberapa upacara yang pernah saya hadiri:
1.
Ijambe, (baca : Ijamme’) yaitu upacara kematian yang pada intinya
pembakaran tulang mati. Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam. dan
membutuhkan biaya yang sangat besar, dengan hewan korban kerbau, babi dan ayam.
Karena mahal Upacara ini dilakukan oleh keluarga besar dan untuk beberapa Orang
(tulang yang udah meninggal) atau untuk beberapa Nama, dulu sering dilakukan di
desa nenek saya di desa Warukin, kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan.
2.
Ngadatun, yaitu upacara kematian yang dikhususkan bagi mereka yang
meninggal dan terbunuh (tidak wajar) dalam peperangan atau bagi para pemimpin
rakyat yang terkemuka. Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
3.
Miya, yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima
malam. kuburan dihiasi dan lewat upacara ini keluarga masih hidup dapat
“mengirim” makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya kepada “adiau” yang sudah
meninggal.
4.
Bontang, adalah level tertinggi dan “termewah” bentuk penghormatan
keluarga yang masih hidup dengan yang sudah meninggal, upacara ini cukup lama 5
hari lima malam, dengan biaya luar bisa, “memakan korban “puluhan ekor babi
jumbo dan ratusan ekor ayam kampung esensinya adalah memberi/ mengirim
“kesejahteraan dan kemapanan” untuk roh/ adiau yang di”bontang”, upacara ini
bukan termasuk upacara duka, tapi sudah berbentuk upacara sukacita.
5.
Nuang
Panuk, yaitu upacara mambatur yang
setingkat di bawah upacara Miya, karena pelaksanaannya hanya satu hari satu
malam. Dan kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu tingkat saja, di antar
kue sesajen khas Dayak yaitu tumpi wayu dan lapat wayu dan berbagai jenis kue
lainnya dalam jumlah serba tujuh dan susunan yang cukup rumit
6.
Siwah, yaitu kelanjutan dari upacara Mia yang dilaksanakan setelah empat
puluh hari sesudah upacara Mia. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari
satu malam. Inti dari upacara Siwah adalah pengukuhan kembali roh si mati
setelah dipanggil dalam upacara Mia untuk menjadi pangantu pangantuhu, atau
“sahabat” bagi keluarga yang belum meninggal.[9]
5. Interaksi kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama
Lain
Sebelum
abad 20, secara keseluruhan Suku Dayak belum mengenal agama ‘samawi’, baik itu
Islam maupun yang lainnya. Yang menjadi kepercayaan mereka hanyalah kepada
leluhur, binatang-binatang, batu-batuan, serta isyarat alam yang mereka tafsirkan
mirip seperti agama Hindu kuno.
Dalam kehidupan sehari-harinya, mereka mempercayai macam-macam pantangan sesuai dengan ‘tanda’ dari alam.
Dalam kehidupan sehari-harinya, mereka mempercayai macam-macam pantangan sesuai dengan ‘tanda’ dari alam.
Mereka
mempunyai pantangan untuk berbaur dengan kehidupan masyarakat dari suku lain.
Sehingga mereka selalu hidup dengan dihantui rasa ketidaktenangan yang membuat
mereka selalu berpindah-pindah, dari hutan satu ke hutan yang lainnya. Dari goa
satu ke goa yang lainnya dan seterusnya.
Diantara Suku
Dayak yang paling ‘eksklusif’ bahkan bisa dibilang sangat primitif adalah Suku
Dayak Punan. Suku yang satu ini bahkan sulit berkomunikasi dengan
masyarakat umum. Kebanyakan dari mereka tinggal di hutan yang lebat atau di
dalam goa. Sebetulnya, ini juga bukan murni ‘kesalahan’ mereka. Mereka hanya
mengikuti pantangan dari ‘leluhur’ yang mereka takut jika melanggar pantangan
tersebut, akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dalam
satu cerita, konon leluhur mereka ini berasal dari satu negeri yang bernama
‘Yunan’ di Cina. Mereka berasal dari satu keluarga kerajaan Cina yang kalah
dalam peperangan dan pergi untuk mengamankan diri hingga sampailah di pulau
Kalimantan.
Mereka
pun merasa aman untuk tinggal di Kalimantan. Walau sudah begitu, mereka masih
memiliki trauma akibat kalah dalam peperangan sehingga mereka takut bertemu
dengan kelompok masyarakat manapun.
Mereka khawatir peperangan akan terulang kembali sehingga suku mereka bisa punah. Maka dari itu para leluhur mereka membuat pantangan untuk tidak menemui satupun kelompok yang berbeda dari kalangan mereka.[10]
Mereka khawatir peperangan akan terulang kembali sehingga suku mereka bisa punah. Maka dari itu para leluhur mereka membuat pantangan untuk tidak menemui satupun kelompok yang berbeda dari kalangan mereka.[10]
[1] Diakses pada
tanggal 11 Maret 2016http://dayakofborneo.blogspot.co.id/2013/07/asal-muasal-suku-dayak.html?m=1
[2] Diakses pada
tanggal 11 Maret 2016http://den-mpuh.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-awal-adanya-suku-dayak-di.html?m=1
[3] Harun
Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1985), Cet II, h. 60
[4] Diakses pada
tanggal 11 Maret 2016 http://folksofdayak.wordpress.com/2014/02/23/cara-mandapatkan-ilmu-magis-dayak/
[5] Diakses pada tanggal 11 Maret 2016 http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/967/kaharingan-kepercayaan-suku-dayak
[8] Diakses pada tanggal 11 Maret 2016 http://blogsauted.blogspot.co.id/2013/01/upacara-adat-kematian-dayak-maanyan.html#ixzz42VO1iN6q
[9] Diakses pada
tanggal 11 Maret 2016 http://blogsauted.blogspot.co.id/2013/01/upacara-adat-kematian-dayak-maanyan.html#ixzz42VO1iN6q
Tidak ada komentar:
Posting Komentar