Selasa, 14 Juni 2016

Resume Kelompok 12



Agama Tradisional Suku Nias
A.    Asal-Usul suku Nias
Suku bangsa ini mendiami pulau Nias yang secara geografis terletak di sebelah barat Pulau Sumatera. Bersama dengan beberapa pulau kecil di sekitarnya daerah in sekarang termasuk ke dalam  wilayah kabupaten Nias, provinsi Sumatera Utara. Penduduk asli menamakan diri mereka Ono Niha,yang artinya “anak manusia”, dan menyebut pulau mereka Tano Niha, artinya “tanah manusia”.
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Namun menurut Penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias padamasapaleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau. kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga  diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kin imenjad inegara yang disebut Vietnam.
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenekmoyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melaluijalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak adalagi jejak dar imasyarakat Niaskuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang menempati goater sebut berasal dari masa 12.000 tahunlalu. Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisonom engatakan, teori tentang asa lusulma syarakat Nusantara dari Taiwan sebenarnya sudah lama disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood (2000).Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan bentuk gerabah.
B.     Kepercayaan dan Ajaran-Ajaran Suku Nias
1.      Kepercayaan Suku Nias
a)      Keyakinan Terhadap Dewa
Suku yang pernah mencapai tingka tperkembangan megalitik yang mengagumkan ini mempunyai agama asli yang disebut Maloheadu( penyembahroh) yang didalamnya dikena lbanyakdewa, diantaranya yang paling tinggi adalah lowalangi.seperti padahasil karya buda ya mereka, merek a menyembah roh-roh dengan mendirikan patung-patung dari batu dan kayu, tugu-tugu dan arcaarwahsertaomohada yaitu rumah adat yang didirikan diatas batu-batu besar pipih dan dengan tiang-tiang kayu besar, dan penuh jugadengan ukir-ukiran.
Dalam kepercayaan kepada dewa-dewa tersebut ada dua dewa yang dianggap penting, yang pertama adalah Lowalangi yang sudah disebutkan tadi .Lowalangi in imerupakan dewa alam atas, sumber dari segala yang baik.Sedangkan yang kedua adalah Lature Danoyaitu dewa alam bawah, yang pada umumnya lebih menampakka naspek-aspek yang negatif.
b)      Keyakinan tentang jiwa
Dalam suku Nias terdapat beberapa ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk mengungkapkan pengeretian jiwa yaitu, noso dan bekhu. Noso dipandang datang dari dewa Lowalangi atau dari salah satu bentuk penampakan dewa itu. Sesudah yang memiliki noso itu mati maka noso akan kembali kepada Lowalangi. Pada hakikatnya noso dianggap atau sering di uraikan sebagai nafas, hidup, dan atau asas yang dialaminya. Sedangkan bekhu tampil jika orang yang sudah mati atau mungkin bisa kita sebut arwah/roh. Bekhu pergi ke  alam orang yang sudah mati. Dalam praktiknya, bekhu sama dengan bentuk eksistensi yang baru dari orang yang mati.
c)      Keyakinan Tentang Kekuatan Ghaib
Suku Nias mengenal adanya eheha. Eheha adalah kekuatan yang berjiwa dan menjiwai, yang dapat diwariskan dari ayah kepada keturunannya atau kepada anak laki-lakinya. Sebenarnya eheha ini hanya berarti bagi para pemimpin laki-laki ataupun pada orang-orang yang penting dan tidak beerlaku ataupun tidak penah terungkap adanya eheha.
d)     Mite Penjadian
Mite merupakan suatu cerita yang mempunyai latarbelakang sejarah yang dipercayai masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi dan dianggap suci serta mengandung hal-hal gaib. Bagian pertama mite ini, memiliki sumber, atau meyebutkan bahwa pada awal mula yang adalah kekacauan (khaos) dari kekacauan ini timbulah tokoh dewa yang pertama, selanjutnya mite-mite itu berbeda satu sama lain.
1)      Mite dari Nias Utara; tokoh dewa pertama yaitu, Tuhan Sihai, setelah Sihai meninggal timbula Aloloa Nangi. Dengan dibantu oleh roh-roh baik yang sebelumnya ada roh-roh jahat seperti Nadaoya dan Afokha, kemudian roh-roh yang baik yaitu, Lowalangi dan Lature Dano bermaksud menciptakan manusia. Akan tetapi Lature Dano gagal menunaikan tugasnya, hanya Lowalangi dapat menghidupkan manusia.
2)      Mite dari Nias Selatan; Inada Samihara Luwo (Inada = Ibu kita) ialah yang menyebabkan adanya penjadian manusia.

C.    Upacara-Upacara Suku Nias
1.      Upacara Pernikahan
Bowo adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias. Etimologi bowo adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Jadi, arti sejati bowo mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti perhatian orangtua kepada anaknya. Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati dengan cara memberi babi).[1]
2.      Upacara Kelahiran
Di Nias setelah kedua mempelai laki-laki dan perempuan menikah di haruskan untuk tinggal di rumah. Orang tua laki-laki setelah 4 bulan, jika seandainya mereka  mendapat momongan baru maka seharusnya kedua mempelai dan saudara laki-laki serta ibu martua berkunjung kerumah keluarga wanita ( mangaruu).
Dengan tujuan memberikan kabar sukacita kepada orang tua perempuan sekaligus meminta nasehat dari doa agar janin yang dalam kandungan tidak keguguran. Kepergian mereka di rumah orang tua perempuan dengan membawa babi sebagai penghormatan. Pulang lama mereka pulang orang tua dari perempuan 1 hari 1 malam.
Orang tua laki-laki keluarga berkumpul dan berdoa, biar di saat melahirkan nanti tidak ada halangan apa-apa. Sebelah itu baru di panggil bidan tanah datang kerumah sakit atau bersalin.[2]
3.      Upacara Boro Nadu
Upacara boro nadu ini adalah puncak hidup kultus suku Nias, sebab secara langsung pesta ini dihubungkan dengan penciptaan dan terjadinya suku Nias. Biasanya upacara ini diselenggarakan ditempat-tempat yang dipandang sebagai tempat nenek moyang dahulu turun dari alam atas dan sekaligus dianggap sebagai kediaman pertama nenek moyang masing-masing kelompok. Kata boro sendiri berarti suku, dasar, atau sebab. Jadi, kata  boro nadu berarti permulaan perbbuatan suci, atau asal dan sumber tertua penyucian. Boro nadu  berisikin pemujaan terhadap arwah nenek moyang yang di khususkan pada arwah nenek moyang laki-laki ataupun di khususkan pada arwah nenek moyang perempuan yang dianggap bahwa keduanya memelihara sebatang pohon suci yang disebut fosi.
4.      Upacara Pesta Jasa atau Pesta Kedukaan (owasa)
Tujuan pesta religius ini ialah untuk memperoleh kehormatan, nama, kedukaan, dan gelar. Jika perayaan ini diselenggarakan oleh bangsawan, pada kesempatannya mereka mengadakan korban manusia dan juga mendirikan suatu momen megalitikum. Oleh karena itu, upacara ini biasanya  diadakan di luar desa. Dalam suku Nias terdapat suatu aturan yang berlaku bahwa orang boleh mengadakan owasa setelah ia kawin, ia harus berusaha mengumpulkan emas dan babi yang cukup untuk pelaksanaan owasa yang pertama.

D.    Interaksi Suku Nias dengan Agama Lain
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Pada masa sekarang sebagian besar orang Nias sudah memeluk agama Kristen dan sedikit Islam. Agama asli mereka disebut malohe adu (penyembah roh) yang di dalamnya dikenal banyak dewa, di antaranya yang paling tinggi adalah Lowalangi. Mereka memuja roh dengan mendirikan patung-patung dari batu dan kayu, rumah tempat pemujaan roh disebut osali. Pemimpin agama asli disebut ere. Pada masa sekarang nama Lowalangi diambil untuk menyebut Tuhan Allah dan osali menjadi nama gereka dalam konsep Kristen.

Resume Kelompok 11



Agama Tradisional Sunda Wiwitan
A.    Asal-Usul Sunda Wiwitan
Tokoh atau pendiri dari agama sunda wiwitan adalah pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat atau lebih dikenal sebagai Kyai Madrais. Sejarah mencatat Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, lahir pada tahun 1822 sampai 1939 . Beliau tidak dilahirkan di Gebang, tetapi di susukan Ciawigebang yang kemudian dititipkan kepada ki Sastrawadana di cigugur dengan pesan kelak dapat meneruskan perjuangan leluhurnya dalam usaha menentang penjajahan, selain itu, untuk mengelabui kompeni dipesankan pula agar anak tersebut diakui sebagai anak Ki Sastrawardana, tetapi karena akhirnya diketahui bukan anak ki sastrawardana, maka disebut pula bahwa anak tersebut dinyatakan sebagai anak titipan R. Kastewi dari Sususkan Ciawigebang.
Pada usia 10 tahun pengeran Kusuma Adiningrat berkerja pada Kuwu Sagahariang sebagai gembala kerbau, dikenal dengan nama taswan, tetapi ketika akan meninggalkan Sagahariang, ia berpesan kepada teman-temanya bahwa nama sebenarnya adalah Madrais, anak Ki Sastrawardana dari Cigugur. Sekitar tahun 1840 pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur dan mendirikan peguoran/pesantren dengan mengajarkan Agama Islam yang kemudian dikena sebagai Kyai Madrais. Kyai Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah.
Namun disisi lain Pemerintahan Belanda berupaya buruk kepada kyai madrais yaitu dengan tuduhan bahwa kyai madrais melakukan pemerasan kepada rakyatnya, penipuan kepada rakyatnya. Pemerintahan Belanda memasukan Kyai Madrais ke tahanan dan mengasingkannya ke Merauke. Setalah kembali ke marauke tahun 1908, rumah Kyai Madrais tetap diawasi, bahkan diadakan pejagaan dan para pengikutnya dilarang mendatangi lagi rumah Kyai Madrais. Dengan adanya pengawasan dari pemerintahan belanda, Kyai Madrais tidak lagi membuka pesantren, tetapi terus berusaha dalam bidang pertanian. Ketika sibuk dalam usaha pertanian, para pengikutnya ada kesempatan lagi untuk dapat bertemu dengan Kyai Madrais. Tetapi hal inipun diketahui, dan akibatnya kerap kali pula keluar penjara, sampai akhirnya setelah ditekan dengan keharusan menyanjung Pemerintahan Belanda di pesantren/paguronya, barulah Kyai Madrais dibolehkan meneruskan tuntunannya. Pada tahun 1939 Pangeran Madrais meninggal dunia.

B.     Pokok-Pokok Ajaran Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
1.      Pokok-Pokok Ajaran
            Pokok-pokok ajaran kepercayaan agama sunda wiwitan terekspresikan pada pemikiran Ki Madrais sebagai berikut:
a)      Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).
b)      Ngaji Badan(intropeksi/retropeksi diri).
c)      Akur Rukun Jeng Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama).
d)     Hirup ulah misah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat).
e)      Hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong menolong).
2.      Kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
a)      Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
b)      Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
c)      Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.[1]
Sebutan manusia dibedakan menjadi “jalma” atau “manusa”. Disebutjalma karena ngajalma (menjelma) atau mewujud menjadi mahluk yang disebut manusia dengan kodrat dan cirinya yang haus melaksanakan cara hidup dan cara kemanusiaan.
Manusia harus menyadari kemanusiaannya di samping hidup sesuai dengan nalurinya, juga memiliki akal dan budi manusia tidak hanya merasa hanya hidup, melainkan juga dapat merasakan sedalam-dalamnya arti hidup dalam kehidupan, merasa bahwa wujud keagungan alam semesta hanyalah berasal dari cipta  dan Karsa Tuhan Yang Maha Esa.
Penciptaan alam semesta dimulai dari cahaya. Cahaya dibagi menjadi empat yaitu cahaya putih, kuning, merah dan hitam. Cahaya putih melambangkan air, cahaya kuning melambangkan air, cahaya merah melambangkan api, dan cahaya hitam  melambangkan tanah. Untuk itu alam semesta ini terbentuk dalam unsur air, angin, api, dan tanah.

C.    Upacara Keagamaan Agama Sunda Wiwitan
1.      Upacara Keagamaan
a)      Sembahyang dalam Agama Sunda Wiwitan
Olah rasa atau samadi adalah suatu upaya kearah kesadaraan diri dalam penghayatan untuk mencapai kesadaran illahi, menyadari kemahaesaaan tuhan, keagungan serta segala sifatnya yang maha sempurna atau segala yang ada di dalam semesta. Dalam sikap duduk sempurna yang baik, dengan rasa penyerahan diri, serta merasakan bahwa tiada kekuasaan lain kecali Tuhan adanya, dan tiada asal dari segala asal kecuali tuhan yang Maha Pencipta.
Dalam mengolah rasa, disamping mengatur napas dan merasakannya, disertai pula berusaha melihat wajah sendiri dalam penglihatan rasa, sambil mengucapkan dalam hati:
Kun Sapun Ka Sang Rumuhun
Gusti Nu Murbeng Jagat
Nu Kagungan Marga Numadi jisim
Nu Nyangki Pasti Papasten
Nu Nebarkeun Bini Hurip Binih Pati
Maha Agung, Maha Murah, Mahar Asih
Maha Kawasa, Maha Uninga Tur Maha Adil
Abdi Nampi Cipta Karesa Gusti
Teu Aya Daya Pangawasa Iwal Ti Pangrese Gusti
Nugih Abdi Di Kersaken Dina Midamel
Salir Puli Samudaya Karesa Gusti
Nudiolah Karesa Gusti, Nungolah Pangresa Gusti
Abdi Nampi Kerana Ka Agungan Sareng Ka Jemparan Gusti
Mugi Abdi Pinareng Raha Ayu
Rahayu Sagung Dumadi
Dalam pengheningan Hamadi manusia harus benar-benar merasakan dengan kepercayaan dan kenyataan bahwa bernafas adalah suatu anugrah yang Maha Kuasa sehingga dapat menikmati segala kemurahan yang di berikan dalam cinta kasih-Nya.
Upacara keagamaan ini dilakukan dalam rangka menanamkan udi luhur kepada para anggota. Beberapa upacara dapat disebutkan, seperti:
1)      Tanggan satu Sura, merupakan tahun bagi orang Jawa dan orang Sunda yang sekaligus juga merupakan hari raya bagi warga Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang atau ADS.
2)      Saresehan yang secara rutin diadakan seminggu sekali.
3)      Upacara peringatan Maulid Nabi.
4)      Upacara menubuk padi yang dilakukan pada 22 Djulhijjal. Upacara memiliki makna tersendiri bagi mereka. Yakni, sebagai penghormatan pada Dewi Sri yang bakal kehidupan manusia.
2.      Upacara Adat
a)      Upacara Kematian
Setiap orang yang meninggal berarti ia pulang ke “Jagat Peteng” (Alam Gelap). Oleh sebab itu, ketentuan yang harus dilakukan pada orang meninggal adalah:
1)      Dibungkus dengan kain hitam, yang berarti kematian itu memasuki alam yang gelap.
2)      Dimasukkan peti berkayu jati yang berarti manusia telah pulang kea lam yang sejati
3)      Dibagi dalam peti kayu jati disempan arang, kapur dan beras. Ketiga benda-benda yang dimasukkan kedalam peti ini mempunyai makna tersendiri, arang dimaksudkan melumpuhkan roh atau makhluk halus yang berada di dalam kayu jati, kapur dimaksudkan untuk mencegah agara mayatnya tidak diganggu orang yang masih hidup, beras dimaksukan bahwa hidup manusia sangat tergantung pada beras sebagai bahan makanan sehari-hari.

D.    Interaksi Sunda Wiwitan dengan Agama Lain
Pada masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.
Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.[2]


[1] Dikases pada tanggal 15 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan
[2] Diaskes pada tanggal 15 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_Sunda