Kamis, 19 Mei 2016

Suku Bajo

SUKU BAJO


Sumber:

Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan perairan laut teritorial (3,2 juta km2) terluas di dunia (belum termasuk 2,9 juta km2 perairan zona ekonomi eksklusif, terluas ke-12 di dunia), dan 95.108 km garis pantai yang terpanjang kelima di dunia. Perairan laut Indonesia memiliki posisi geografis strategis sebagai jalur komersial dan militer dan merupakan lintasan jalur pelayaran penghubung Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia dan Benua Asia dengan Benua Australia.[1]
Indonesia memiliki luas laut 75 persen dari luas daratan.Indonesia memiliki banyak pulau yang tersebar di seluruh nusantara.Berdasarkan data terakhir tahun 2004 yang dirilis oleh Departemen Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri), jumlah pulau di indonesia adalah sebanyak 17.504 buah (menurut sumber lain sebanyak 17.508 buah). Sebanyak 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 pulau belum memiliki nama.Dari,pulau-pulau tersebut terdapat berbagai macam suku.Berdasarkan data dari Sensus Penduduk terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang berhasil terdata sebanyak 1.128 suku bangsa. Namun, jumlah tersebut bisa saja kurang dari jumlah yang sebenarnya, hal ini dikarenakan luas wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdapat beberapa wilayah pedalaman yang masih sulit dijangkau.Salah satunya adalah Suku bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.

A.    Letak Geografis
Sumber:

Suku Bajo tersebar di berbagai di daerah di Indonesia. Namun di sini kita mengenal lebih dekat Suku Bajo yang berada di Taman Nasional Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Suku Bajo sangat lekat sekali dengan kehidupan laut. Bahkan ada pula yang tinggal di perahu dan hidup di laut lepas. Di sini kita dapat melihat dan mencontoh kearifan Suku Bajo dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Dengan menempati wilayah Taman Nasional Kepulauan Togean, maka kebutuhan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak Suku Bajo akan lebih terjamin oleh pemerintah setempat.
Suku Bajo adalah kelompok etnis di Asia tenggara yang memiliki karakteristik kemaritiman yang sangat kuat. Wilayah penyebaran mereka sangat luas mencakup Pantai Timur Sabah, Kepulauan Sulu, Pantai Timur Kalimatan, Selat Makassar, Perairan Laut Sulawesi dan Maluku, serta Perairan Laut Nusa Tenggara.

B.     Asal-Usul Suku Bajo
Pengelompokan Suku Bajo Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnya dirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai. Nama “bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut.
Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo. Artinya, suku Perompak.Namun, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap di sama artikan sebagai suku Bajo. Namun, pemaknaan negatif tentang Suku Bajo menimbulkan polemik berkepanjangan. Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”.
Pada suku Bajo dikenal empat kelompok masyarakat menurut kebiasaannya bernelayan, yakni kelompok lilibu, kelompok papongka, kelompok sakai, dan kelompok lame. Kelompok lilibu adalah suku Bajo yang biasanya bernelayan di laut hanya satu atau dua hari. Mereka menggunakan perahu soppe yang dikendalikan dayung. Setelah mendapat ikan, mereka kembali ke darat, untuk menjual hasil tangkapan atau menikmatinya bersama keluarga. Kelompok papongka berada di laut bisa sepekan atau dua pekan. Mereka menggunakan jenis perahu yang sama besarnya dengan kelompok lilibu. Sekadar perahu soppe. Bila dirasa telah memperoleh hasil atau kehabisan air bersih, mereka akan menyinggahi pulau-pulau terdekat. Setelah menjual ikan-ikan tangkapan dan mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut.
Begitu seterusnya. Bedanya dengan kelompok lilibu, mereka baru akan pulau ke rumahnya setelah seminggu atau dua minggu mencari nafkah. Pada saat kembali ke rumah, sang nelayan biasanya membawa uang dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga,mereka tidak perlu lagi membawa tangkapan ikan. Kelompok sakai memiliki kebiasaan mencari ikan yang lebih dasyat lagi. Mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok papongka. Namun, wilayah kerjanya lebih luas. Bila kelompok papongka hitungannya seluas provinsi, maka kelompok sakai hitungannya antar provinsi. Katakanlah, antar pulau. Sehingga, waktu yang dibutuhkan pun lebih lama. Mereka bisa berada di “tempat kerja”nya itu selama sebulan atau dua bulan. Karena itu, perahu yang digunakan pun lebih besar dan saat ini umumnya telah bermesin. Kelompok terakhir, kelompok lame bisa dikategorikan nelayan-nelayan yang lebih berkelas. Mereka menggunakan perahu besar dengan awak yang besar dan mesin bertenaga besar. Karena, mereka memang bakal mengarungi laut lepas hingga menjangkau negara lain. Dan, mereka bisa berada di lahan nafkahnya itu hingga berbulan-bulan.  
Asal Usul Suku Bajo Suku Bajo dapat dikatakan sebagai salah satu suku terasing di Indonesia yang umumnya bertempat tinggal di laut. Suku Bajo merupakan suku laut yang berasal dari Johor Malaysia yang kemudian menyebar hingga ke Sulawesi, NTT, Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau sekitar di Indonesia.[2] Bukti tersebut diperkuat dari segi budaya berpantun yang dimiliki oleh suku Bajo. Selain itu, Imam Masjid pertama di Kota Kendari adalah ulama dari etnis Bajo. Bisa jadi, suku Bajo dalam menyebarkan Islam ada kaitannya dengan Syaikh Abdul Wahid, seorang ulama dari Arab yang sebelum ke Nusantara, terlebih dahulu menyebarkan Islam di Johor Semenanjung Malaysia, dimana etnis Bajo berasal. Versi lain menyatakan, mereka berasal dari Vietnam dan Philipina. Hal tersebut didasarkan pada bahasa yang hampir mirip dengan masyarakat pesisir yang ada di Philipina dan Vietnam. Seluruh etnik Bajo di pantai manapun berada, mereka tetap menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Bajo. Di sisi lain terdapat argumen yang menyatakan bahwa suku Bajo berasal dari daerah di selatan Philipina dengan beranggapan dari kesamaan bahasa dari suku Bajo yang banyak menyerupai bahasa Togolog Philipina. Selain itu terdapat kesamaan bahasa dari suku Bajo yang berasal dari Vietnam maupun dari Indonesa dan Philipina sendiri. Versi lain dari asal usul suku Bajo adalah bahwa suku Bajo merupakan campuran dari Cina Selatan dan Kalimantan Timur. Versi ini, didasarkan pada mitos dan cerita rakyat yang berkembang pada masyarakat Bajo.
Suatu ketika di masa silam, raja di Johor Malaysia kehilangan putrinya yang sedang bertamasya mengarungi lautan Nusantara. Dikabarkan, putri raja tersebut tenggelam di lautan lepas. Atas kejadian itu, Kerajaan Malaka memerintahkan seluruh prajuritnya untuk mencari putri raja. Mereka tidak diperbolehkan kembali, sebelum berhasil mendapatkan putri sang raja. Di sinilah dimulai sebuah perantauan tak berujung. Karena tidak berhasil menemukan putri raja yang tenggelam, maka para prajurit kerajaan Malaka memutuskan tidak kembali ke kerajaan dan berlayar kemana saja mengikuti arah angin. Hal ini menjadi cikal bakal suku Bajo yang kemudian tinggal di atas perahu dan berpindah-pindah dan menyebar hingga seluruh nusantara. Selain versi suku Bajo di atas, terdapat banyak versi lain yang memaparkan asal-usul dari suku bajo antara lain:
1.      lontarak riolo peninggalan kerajaan Bone menyebutkan bahwa suku Bajo berasal dari daerah di selatan Afrika. Dalam lontarak tersebut terdapat banyak kata Bajo dan afrika sehingga dikaitkan sebagai asal dari suku ini.
2.      suku Bajo berasal dari prajurit Malaka yang tidak menerima kehadiran Portugis di Malaka sehingga mereka menyebar ke kawasan Timur Nusantara, membentuk komunitas suku Bajo.
3.      Salah satu Lontarak Bajo mengatakan bahwa suku Bajo berasal dari suku Makassar.

C.     Sosial
Dalam masyarakat suku bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan, yakni :[3]

1.      Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro),
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Suku Bajo yang bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata cara pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.
2.      Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari)
Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari rumah penghulu atau kepala kampung untuk mendapat perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “pakayya” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut “nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “pakayya” dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi.
Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya). Bahkan orang tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya. Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim.
Akan tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan perempuan tetap berbahaya. Oleh karena itu selama keduanya belum diterima kembali untuk rujuk yang disebut “sipamapporah) (meminta maaf), maka laki-laki yang membawa lari gadis tersebut harus tetap berhati-hati dan berupaya menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga dari pihak perempuan.
3.      Perkawinan Menurut Usia
Telah diketahui, bahwa usia perkawinan diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut memiliki kematangan dalam berumahtangga, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari suatu perkawinan yaitu mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Dahulu, usia perkawinan tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak di bawah umur dinikahkan (nekke ana’-ana’). Tetapi mereka berdua masih tetap tinggal di rumah orang tua masing-masing. Dan nanti keduanya akil baliq (menanjak dewasa) barulah dipertemukan untuk hidup sebagai suami isteri. Hal seperti ini masih berlaku hingga akhir abad ke-19.
4.      Perkawinan yang Dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Suku Bajo melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti :
a)      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui ayah maupun ibu.
b)      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/cucu/cicit) termasuk keturunan anak wanita.
c)      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung / anak dari saudara kandung).
d)     Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu).
5.      Perkawinan Duduk ( Sitingkoloang )
Perkawinan ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki atau pihak perempuan pergi kerumah orangtua laki-laki atau perempuan guna menyerahkan dirinya kepada keluarga laki-laki atau perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta sehingga dia memberanikan diri untuk menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat sayang.Untuk maksud ini dari pihak orangtua memberikan saran agar masing-masing pihak dapat meluangkan waktunya untuk musyawarah (sitummu).Perkawinan ini masih berlaku di Masyarakat Bajo. 

D.    Tarian
Umumnya tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama dengan tarian suku bugis,buton,mandar dan toraja.Ada dua tarian yang lumrah di kalangan Suku Bajo yakni :
1.      Tarian Manca
Tarian Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan masyarakat Bajo.Tarian ini dilakukan pada saat ada pesta pernikahan yang resmi (Massuro). Biasanya tarian ini dibawakan oleh sepasang pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang masing-masing saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah merupakan turun temurun dari nenek moyang mereka.Si pamanca sudah terlatih sejak kecil,sehingga gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama sarroni/sulleh(seruling) dan gandah (gendang).
2.       Sile' kampoh ( silat kampung )
Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo.Ini bersinambungan dengan manca artinya semua jurus-jurus yang didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca.Silat kampung ini tidak sembarangan orang untuk mempelajarinya.Syaratnya harus sudah cukup umur.Untuk mempelajari silat ini dibutuhkan empat minggu ini sudah sempurna.Prinsipnya silat adalah jalan hidup yang meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia.

E.     Mata Pencaharian Suku Bajo[4]
Apa mata pencaharian Suku Bajo? Ya, sumber utama mata pencaharian mereka adalah mencari ikan. Dengan lautan yang menghampar luas di sekitar mereka, di sanalah tempat mereka mencari nafkah. Yang dapat kamu pelajarai adalah, dalam kehidupan sehari-hari Suku Bajo bekerja mencari ikan dengan cara-cara tradisional, yaitu:
1.      Memancing
2.      Menjaring
3.      Memanah
Hasil tangkapan ikan ini akan dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau terdekat. Beberapa Suku Bajo sudah mengenal teknik budidaya produk laut seperti lobster, ikan kerapu, atau udang. Tempat budidaya yang disebut tambak terapung ini biasanya terletak tidak jauh dari pemukiman.
F.      RELIGI
Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang ketika itu berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut apabila banyak masyarakat Bajo memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu menggulingkan kekuasaan kerajaan.
Filsafat kehidupan suku Bajo di Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu disingkronisasi oleh peradaban.Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan berwujud gagasan/ide, perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju.
Masyarakat  suku Bajo Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan  Wetu Telu. Makna dari kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan ikan) dan Tumbuh (diperuntukkan tumbuh-tumbuhan).
Wetu Telu juga mempunyai tiga fase dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase kedua adalah kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan yang sama, dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan yang berbeda. Khususnya manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama hidup Dari ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu kesatuan dari alam, yang tersirat dari  filsafat kosmologi kehidupan dan budaya.
Seperti halnya masyarakat Jawa, suku Bajo juga mengenal adanya dewi padi. Jika orang Jawa mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (dewi padi), maka orang Bajo mengenal dewi padi dengan sebutan Inak Sariti. Suku bajo hanya menanam  varietas padi lokal dari golongan padi bulu. Hal ini dikarenakan varietas padi ini adalah varietas padi yang pertama kali ditanam di bangkat,  sawah orang Bayan pertama kali. Selain itu, masyarakat percaya bahwa jika tidak menaman padi bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Masyarakat setempat juga lebih menyukai varietas ini dikarenakan  varietas padi ini menghasilkan nasi yang lebih pulen dan lebih enak.
Tradisi bertani di desa ini merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai positif yang terkandung, untuk selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan. Masyarakat desa hidup dan masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan makhluk yang lain serta lingkungan sekitar. Dan disisi lainnya sangat menghargai dan menjunjung tinggi atas nilai kehidupan. Demikianlah kearifan lokal yang dimiliki kampung adat Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat kita refleksikan sebagai bentuk kekuatan bangsa kita.

G.    Pendidikan
  Soal penghasilan, Abdul manan, kepala Bappeda Wakatobi yang juga menjadi Presiden Suku Bajo seluruh Indonesia mengatakan, pada dasarnya pendapatan rata-rata suku Bajo tergolong tinggi. Dalam satu hari bisa mencapai Rp300 ribu. Namun, biasanya habis dibelanjakan hari itu juga atau untuk membeli perhiasan emas. Belum ada konsep menabung, apalagi manajemen keuangan keluarga.
  Soal pendidikan, kurang mendapat perhatian. Anak-anak lebih senang terjun mencari ikan daripada sekolah. Kesadaran orang tuanya pun masih minim. “Minat mereka pada pendidikan masih rendah. Hanya 0,5% dari 46% angka partisipasi sekolah di Sulawesi Tenggara,” papar Manan.
  Sebagai Presiden Suku Bajo Indonesia, Manan memiliki impian dapat memajukan sukunya. Paling tidak, dia menargetkan bisa mencapai angka pendidikan hingga 10%. “Hanya dengan pendidikan tanpa menggusur budaya, kita bisa maju,” tukasnya.[5]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar