AGAMA TRADISIONAL ORANG BATAK
Disusun untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan Pada Mata Kuliah Agama Lokal
Dosen pengampu: Siti Nadroh, MA
Disusun oleh:
Rexy Oktaviani 11140321000059
M. Sofyan 11140321000082
M. Aris Sunandar 11150321000051
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN
AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Agama Tradisional Orang Batak. kami
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Agama Tradisional Orang Batak. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas
ini terdapat kekurangan.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami
bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami maupun orang yang membacanya. Maka dari itu, kami mohon maaf
atas segala kekurangan yang terdapat pada makalah ini.
Tangerang,
April 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
memiliki tradisi keberagamaan yang sangat plural, tidak hanya agama mainstream
yang terlembaga, tapi juga kepercayaan lokal dan tetap bertahan sampai kini.
Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu
yang hidup dalam masyarakat hingga kini, bahkan jauh sebelum negara Indonesia
merdeka.[1]
Termasuk kedalamnya yakni suku Batak yang terdapat
di Pulau Sumatera, Banyak agama atau kepercayaan yang terdapat dalam suku Batak salah satunya yaitu agama Malim. Agama Malim percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa yakni Debata Mulajadi Nabolon. Mereka juga memiliki dan percaya
dewa-dewa yang telah diutus oleh Debata Mulajadi Nabolon.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana mitologi Batak dan interaksinya
dengan agama lain ?
2. Bagaimana asal usul dan perkembangan
kepercayaan Parmalim ?
3. Bagaimana kepercayaan Parmalim dan
ajaran-ajarannya ?
4. Apa saja upacara-upacara yang terdapat
dalam kepercayaan Parmalim ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembaca
2. Untuk mengetahui asal muasal suku Batak
Untuk mengetahui kepercayaan apa yang
terdapat dalam suku Batak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mitologi Batak dan Jenjang Kehidupan Manusia Zaman Keberhalaan
Banyak pendapat yang mengatakan tentang kapan
suku Batak ada di Nusantara. Menurut Malau, orang Batak
sudah ada lebih dari 1500-2000 tahun yang lalu.[2]
Sedangkan menurut Parlindung, bahwa suku bangsa Batak berasal dari
pegunungan Burma, Siam dan
Kamboja. Dan sudah ada di Tanah Batak lebih dari 1000 tahun
sebelum masehi (SM). Menurutnya imgran tersebut berlangsung
dengan tiga tahap.[3] Menurut Parseden
kebudayaan Batak telah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Buddha yakni pada
tahun 2000 SM-1500 M. Oleh karena itu paling tidak tahun 2000 SM, tanah
Batak telah didiami oleh manusia yang sekarang kita
sebut dengan suku Batak.
Istilah “batak” adalah sebuah kata yang berasal dari kata
“bataha” yaitu nama sebuah negeri di Burma dahulu kala sekaligus asal mula orang Batak sebelum bergerak ke arah kepulauan Nusantara.
Suku Batak yang bermukim di bagian utara dan barat laut Pulau
Sumatera terdiri dari enam suku atau cabang, yaitu suku Karo, Pakpak atau
Dairi, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Mandailing.[4]
Batak adalah sebuah suku yang kaya akan mitos baik tentang Debata,
dewa-dewa maupun tentang penciptaan bumi, manusia dan tumbuh-tumbuhan. Semua
mitos itu sejak dahulu diceritakan secara dari mulut ke mulut atau melalui
lisan oleh orangtua yang paham akan hal itu kepada orang yang lebih muda atau
anak-anak.[5]
Suku Batak yang memiliki banyak
ragam kebudayaan dan seni yang sangat terkenal, suku ini pula memiliki mitologi
yang telah mereka yakini sebagai asal usul penciptaan alam semesta serta
hal-hal lain yang terkait.[6]
Orang Batak mengenal pembagian alam
semesta ini terbagi menjadi tiga dunia: Banua Ginjang atau Dunia Atas (upperrworld),
Banua Tonga atau Dunia Tengah (middleworld), dan Banua Toru atau
Dunia Bawah (lowerworld).
Kedamaian alam semesta ini terjamin
apabila ketiga dunia ini bekerja sama dengan baik. Peran paling penting dari
tiga dunia tersebut berada pada dunia tengah yang dihuni oleh para manusia yang
menjadi penghubung antara dunia atas yang dimana para dewa bersemayam dan dunia
bawah yang ditempati oleh jin dan raksasa, yang digambarkan sebagai tanah dan
kesuburan.
B.
Asal Usul dan Perkembangan Kepercayaan Parmalim
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah
Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak
mula-mula yakni percaya kepada arwah leluhur. Menurut mereka arwah leluhur / nenek
oyang bisa mendatangkan malapetaka dan juga kesalamatan. Jika mereka
melakukan penyembahan atau penghormatan kepada arwah leluhur maka mereka akan
mendapatkan kesalamatan, sebaliknya jika mereka tidak
melakukan penghormatan maka mereka akan
mendapatkan malapetaka.
Lalu mereka percaya kepada
benda-benda mati. Benda-benda
mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang dianggap
keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa dan istilah “Debata”,
sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon”
(Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu
dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek
moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat
bagi manusia.[7]
C.
Kepercayaan Parmalin dan Ajaran-ajarannya
1.
Kepercayaan Parmalim
Kepercayaan orang Batak
sebelum berinteraksi dengan agama lain yaitu percaya kepada
arwah leluhur, lalu benda-benda mati. Leluhur mereka yang pertama yakni
Ompu Nabolon yang sekarang ini kita kenal dengan Debata Mulajadi
Nabolon.
Setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu;
Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai
nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu
Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan
adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula
Jadi Nabolon”. Nama untuk dewa-dewa ‘Debata’ diperkirakan berasal dari bahasa
Jawa-Hindu. [8]
Kepercayaan dan upacara keagamaan sebelum
masuknya agama Nasrani dan Islam, mencerminkan pembaruan dari dua unsur utama
yang ikut membentuk kebudayaan Batak, yaitu kebudayaan Megalitik kuno
dan pengaruh india.[9]
Sistem religi yang dianggap tertua di Batak adalah
agama raja-raja yang disebut permalim atau perbaringin atau pelbegu.
[10]
Parmalim
secara antropologis disebut sebagai agama yang diturunkan oleh Tuhan (Debata
Mulajadi Nabolon) khusus kepada suku Batak. Debata Mulajadi Nabolon adalah
pencipta, pemilik dan penguasa semesta alam.[11]
Dengan berinteraksinya kepercayaan asli
Batak dengan agama lain menyebabkan agama Malim mengalami perubahan baik
dari segi kepercayaan maupun ajarannya.
a)
Kepercayaan kepasa Si Pemilik Kearajaan Malim di Banua Ginjang
Dasar untuk
mempercayai semua “si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang” tidaklah
bersumber dari kitab suci, tetapi merujuk kepada bunyi tonggo-tonggo (doa-doa),
yang disusun oleh Raja Nasiakbagi. Berikut merupakan Si Pemilik Kerajaan Malim
di Banua Ginjang. Debata Mulajadi Nabolon, Debata Na Tolu, Si Boru Deakparujar,
Nagapadohaniaji, Si Boru Saniangnaga.
b)
Kepercayaan kepada Si
Pemilik Kerajaan Malim di Banua Tonga
Dalam pemahaman
agama Malim, harajaon memiliki makna keagamaan. Berhubungan dengan ini,
maka yang dimaksud dengan raja bukanlah memiliki arti yang sesungguhnya, tetapi
”raja” yang dimaksud yaitu memiliki tugas sebagai pembawa agama.
Dalam
kepercayaan agama Malim, ada empat orang yang tecatat sebagai raja atau malim
Debata yang sengaja diutus Debata khusus kepada manusia suku Batak, yaitu Raja
Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamaraja, dan
Raja Nasiakbagi.[12]
c)
Kepercayaan Kepada Habonaran
Salah satu komponen dalam seistem kepercayaan agama Malim adalah
mempercayai adanya ”habonaran”. Secara harfiah, kata ”habonaran”
dalam bahasa Batak bisa bermakna “kebenaran”.[13]
Dalam
kepercayaan Malim, habonaran adalah berwujud ruh atau tondi. Dia
adalah ghaib, halus dan zatnya tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia.
Jumlah keseluruhan habonaran. tidak dapat diketahui dengan angka pasti, namun dapat dipastikan
lebih banyak dari jumlah manusia yang ada di permukaan bumi.
d)
Kepercayaan Kepada Sahala
Menurut
kepercyaan agama Malim, sahala adalah ruh suci yang bersumber dari
Debata Mulajadi Nabolon yang diturunkan
melalui Balabulan kepada seseorang manusia yang terpilih.
Wujud sahala
adalah gaib, halus dan tidak dapat
ditangkap oleh panca indra manusia dan tidak pula diketahui kapan masuk dan
hinggap pada diri manusia. Orang yang dihinggapi sahala disebut “marsahala”
(yang mempunyai sahala).
2.
Ajaran-Ajaran agama Malim
a)
Kitab Suci Agama Malim
Kitab suci
Parmalim disebut Pustaha Tumbaga Holing. Turunnya kitab
suci ini sering dengan kelahiran Tuhan Simaimbulu
Bosi Nabadia (Nabadia Suci). Menurut keyakinan pengikut Parmalim, kitab
ini menempel pada badan Tuhan Simarimbulu.
Surat pertama yang
ada pada kitab tersebut yakni:
A- Ha-Ma-Na-Ra-Ta-Ba-Sa-Da-Ga-Dja-Ka-Nga-La-Pa
Di dalam kitab tersebut juga terdapat ajaran-ajaran yang
isinya harus diamalkan oleh para
pengikutnya.
b) Fisafat
Batak
Suku Batak memiliki ajaran tentang
filsafat-filsafat, berikut merupakan
pemaparan tentang beberapa filsafat Batak:
1) Filsafat
Tentang Gelas Minum Tamu yang Harus diisi Penuh
Orang Batak berpendapat:
segala perbuatan tidak boleh dilakukan separuh-separuh, tetapi
harus penuh. Istilah Batak untuk perkataan penuh
“gok”. Perkataan “gok” mempunyai peranan penting
bagi orang Batak. Orang Batak mengisi gelas minum tamunya
penuh, dengan tujuan mengucapkan kepada tamunya: seperti gelas
yang penuh ini, mudah-mudahan Saudara menerima
kebahagiaan yang penuh dari Tuhan.
2) Filsafat
Tentang Pohupohul dan Dolungdolung
“Pohulpohul” dan “dolung-dolung” merupakan dua
macam kue yang spesifik Batak.
·
Dolungdolung: Adapun kue “dolungdolung” yaitu berbentuk bulat
dan merupakan symbol permupakatan yang bulat dan teguh antara kedua
belah pihak.
·
Pohulpohul: adalah filsafal Batak yang berbunyi “Puppa
pande dorpi jumadihon tu rapotna”. (artinya: tukang yang sedang membuat dinding
menimbulkan hiruk pikuk yang sangat, tetapi akibatnya
papan-papan dinding menjadi rapat).[15]
Maksudnya, seringkali dalam kehidupan berumah tangga
terjadi pertengkaran yang
hebat. Dalam membuat kue pohulpohul, tepung
digenggam dengan kuat-kuat, sama seperti marah manusia,
tetapi tercapai juga persesuaian
pendapat dan timbul pula kekompakan pada kedua belah pihak sama seperti tepung
yang telah kita remas dengan kuat maka akan menjadi kompak.
3) Filsafat
Tentang Ulos
Ulos merupakan
semacam kain tenunan khas Batak berbentuk selendang. Sebuah filsafat Batak berbunyi: Ijuk
pangihot hodong, Ulos pangihot ni holong.
Artinya: ijuk adalah pengikat pelepah
pada batangnya dan ulos adalah pengikat kasih saying anatara orang tua dan
anak-anak atau bisa diartikan seseorang dengan orang yang
lain.
c)
Konsep Kesucian Diri Menurut Agama Parmalim
Agama Malim
sebagai jalan pertemuan dimaksudkan bahwa melalui agama inilah para penganutnya
dapat melakukan hubungan dengan Debata baik pada waktu melakukan upacara
keagamaan (ibadat) maupun diluar ibadat.
Di dalam
agama Malim ada sejumlah ajaran dan ibadat yang wajib diamalkan oleh setiap
warga parmalim. Apabila ajaran dan ibadat itu diamalkan dengan baik dan
sempurna, maka orang yang mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang
disebut dengan kesucian jiawa (tondi hamalimon). Artinya, pada dirinya
tertanam ruh atau cahaya kesucian dari Debata sebagai akibat dari pengalaman
ajaran yang sempurna itu. Inilah konsep kesucian diri yang paling tinggi.[16]
d)
Konsep Dosa menurut Agama Malim
Timbulnya dosa
pada diri seseorang pada hakikatnya berawal dari adanya sifat dan perbuatan
jahat (haangaton) yang dilatarbelakangi oleh sifat yang terlalu cinta
terhadap dunia atas dorongan nafsu serakah yang tak terkontrol. Sifat seperti
ini menyebabkan manusia lupa terhadap tuhan Debata. Keadaan lupa seperti itu
menyebabkan dirinya dikuasai oleh iblis sehingga perbuatannya cendeung kepada
perbuatan yang mendatangkan dosa.
Dalam ajaran
Malim ada dua macam dosa yaitu, dosa yang kecil (na metmet) dan dosa
yang besar (na balga). Dosa yang kecil adalah perbuatan yang dapat
digolongkan kepada perbuatan dosa yang ringan, seperti mencuri, menghina dalan
lain-lain, sedangkan dosa yang tergolong besar adalah perbuatan yang
dikategorikan diluar batas kemanusiaan seperti membunuh orang.[17]
D.
Upacara Keagamaan dalam kepercayaan Parmalim
1. Upacara Keagamaan
Malim adalah
sebuah agama yang memiliki beberapa macam
upacara agama-agama (ritual) yang dijadikan sebagai jalan untuk
“bertemu” dengan Debata Mulajadi Nabolon.
a)
Sembahyang
Sembahyang
bisa disebut juga dengan Marisabtu. Marisabtu adalah salah satu upacara agama
(ibadat) yang terpenting dalam agama Malim. Ibadat ini wajib dilaksanakan
sekali dalam sepekan yaitu pada hari sabtu. Penetapan hari sabtu sebagai hari
peribadatan bersal dari sejarah dimana tepat pada hari ketujuh (sabtu).
Praktek
peribadatan mereka dilakukan di sebuah rumah yang dinamakan rumah pesakitan
atau Pasogit di Porsea. Di rumah persakitan tersebut
sembahyang dilaksanakan pada hari Sabtu, pukul 12.00 secara bersama-sama
dengan dipimpin oleh para ahli.[18]
a)
Upacara Mardebata
Mardebata adalah satu satu ritual agama malim. Secara
harfiah kata mardebata bermakna “menyembah Debata”. Sedangkan, menurut
istilah agama, arti mardebata ialah: “upacara penyembahan kepada Debata
dengan perantara sesaji (pelean) yang bersih dan diantarkan melalui
bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang sabangunan) atau gendang
kecapi (gondnag hasapi) sebagaimana telah diisbatkan dalam agama Malim.
Tata cara
pelaksanaanya berbeda-beda tergantung jenis mana mardebata yang
digunakan.
b) Korban
Sebagaimana
dalam kepercayaan agama lain, dalam agama Malim pun terdapat ajaran tentang
koban. Tetapi belum diketahui tentang asal usul konsep korban dalam
agama Malim. Mereka melakukan koban pada waktu hari
kebangkitan raja Sisingamangaraja dan hari-hari besar lainnya.[19]
Jenis
binatang yang menjadi korban pun berbaagai macam, seperti lembu, kerbau, kuda,
kambing, rusa dan sejenisnya, dan juga jenis-jenis
ayam.
2. Upacara Adat
a)
Upacara Martutuaek
Martutuaek merupakan salah satu aturan atau ibadat dalam agama Malim. Namun
perlu diketahui bahwa sebelum agama Malim resmi ada, yakni pada zaman
Sisimangaraja I bahkan sejak dari Siraja Batak. [20]Martutuaek
sudah menjadi bagian dari adat istiadat masyarakat Batak namun setelah agama
Malim resmi ada, acara martutuaek bukan lagi sekedar adat kebiasaan
tetapi sudah berubah status hukumnya menjadi suatu aturan atau ibadat yang
wajib diamalkan.
Proses Pelaksanaan,
yaitu sebagai berikut:
Keseluruhan
upacara dipimpin oleh pimpinan ritual yaitu ihutan atau ulupunguan setempat.
Mula-mula pimpinan upacara terlebih dahulu mengadakan dialog (tanya jawab)
dengan pihak tuan rumah (suhut). Tanya jawab ini disebut “marsintua
gabe”. Dengan selesainya tanya jawab, barulah dimulai melafalkan doa-doa (tonggo-tonggo). Selepas berdoa, pimpinan upacara mengambil segenggam beras dari daam perbuesanti,
lalu meletakkan beras itu keatas ubun-ubun anak yang baru saja ditabalkan
namanya itu termasuk kepada kedua ibu-bapaknya.
Disepanjang
perjalanan menuju mata air, ibu yang menggendong bayi harus memegang sebuah
benda sebagai simbol untuk memaklumkan kepada khalayak ramai jenis kelamin anak
yang sedang martutuaek.
Setibanya di
mata air, dua buah jeuk purut yang di dalam rason pangurason diseahkan
kepada Boru Saniangnaga (penguasa air) sebagai penghormatan. Sesampainya
di tangga rumah, pimpinan ritual menyambut mereka sembari mengangkat mangkuk pangurason
dari atas kepala anak dara itu.
b)
Upacara Pasahat Tondi
Pasahat Tondi berasal dari dua kata, yaitu
“pasahat” yang bermakna ”menyampaikan”, “menyerahkan”, sedangkan makna “tondi”
adalah “ruh”.[21] Dengan
demikian pasahat tondi berarti menyampaikan atau menyerahkan ruh. Dalam
agama Malim, istilah pasahattondi adalah suatu upacara agama yang
bermaksud menyampaikan ruh seorang manusia yang sudah meninggal dunia keada
Debata Mulajadi Nabolon.
Menurut
kepercayaan, di samping sebagai aturan untuk mengembalikan ruh, pasahattondi
juga digunakan sebagai wadah untuk memohon keampunan dosa.
Proses
Pelaksanaannya yaitu:
Pasahat tondi sudah harus dilaksanakan paling lambat sebulan setelah meninggal
dunia. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah, bilamana
sesaji sudah selesai dimasukkan, barulah pimpinan ritual memulai upacara
pelafalan doa-doa.
Setelah itu
barulah diadakan “pengumpulan uang bantuan” yang disebut dengan sidokka (sedekah)
dengan cara mengedarkan sebuah tabung atau “kotak amal” kepada seluruh anggota
yang hadir.
Setelah
pengumpulan sidokka, dilanjutkan dengan pemberian kata-kata takziah
penutup dari pimpinan ritual. Dengan keadaan berdiri, pimpinan ritual berbicara
panjang, karena dia menyimpulkan keseluruhan kata-kata takziah dalam upacara pasahat
tondi itu.
c)
Upacara Mamasumasu
Salah satu upacara yang tidak boleh
diabaikan oleh penganut agama Malim ialah mamaumasu. Istilah mamasumasu
dalam agama Malim dapat diartikan “pemberkatan perkawinan”.[22]
Pada saat
pemberkatan, kedua pengantin mengambil posisi di sebelah kanan atau duduk
menghadap kearah samping kanan peralatan upacara. Sebelum pelafalan doa-doa berlangsung, terlebih
dahulu ihutan menanyakan beberapa hal kepada kedua mempelai termasuk
kepada masing-masing orang tua kedua mempelai.
Jika
pertanyaannya sudah dijawab, maka berarti upacara pernikahan pun akan segera
dilangsungkan. Inti upacara pernikahan, yakni ihutan memulai melafalkan
doa-doa Setelah pelafalan doa-doa. Terakhir, ihutan mangambil uang dari
atas parbuesanti dan menyerahkan secara simbolis, sebagian dari uang
tersebut kepada kedua orang tua mempelai pria dan juga kedua orang tua mempelai
wanita.
d) Upacara Manganggir
Manganggir adalah
upacara yang dapat disamakan dengan sacrament (baptis) dalam
agama lain. Istilah manganggir berasal dari kata anggir (jeruk
purut), karena jeruk purut ini digunakan
sebagai bahan penyucian (pangurason) ,
akhirnya upacara ini dinamakan dengan manganggir. Dalam istilah agama, manganggir
adalah suatu upacara pensucian diri sesorang agar suci dari segala dosa,
kekotoran.
Penyucian
lewat upacara manganggir dipimpin langsung oleh ihutan atau boleh
juga mewakilinya.[23]
Proses
pelaksanaan yaitu Ketika upacara berlangsung, ihutan melafalkan doa-doa
seperti halnya pada upacara ibadat utama yang isinya memohon kepada Debata agar orang-orang dapat diterima sebagai pemeluk baru agama Malim serta dapat
menguatkan keimanannya dan mengampuni dosa-dosanya yang lalu.
e) Upacara Sipaha Sada
Sipaha Sada adalah salah satu aturan dalam
agama Malim. Upaca ini khusus memperingati ari hatutubu ( hari kelahiran) Tuhan
Simaumbulu Bosiyang jatuh pada ari suma (hari kedua) dan ari anggara (hari ketiga)
bulan sipaha sada (bulan satu).[24]
Upacara ini bnerlangsung selama dua hari sesuai berdasarkan sejarahnya yang
dua kali lahir yakni pada ari suma (hari kedua) dan ari anggara (hari ketiga)
bulan sipaha sada (bulan satu). Semua kegiatannya dilakukan si Bale
Pasogit Partonggoan, Hutatinggi. Upacara ini diiringi dengan
music hassapi (kecapi) dan alat m,usik tradisional
lainnya.
f) Upacara Sipaha Lima
Sipaha Lima merupakan salah satu aturan yang
wajib diamalkan menurut agama Malim yang diadakan setiap tahun.
Upacara dilaksankan dalam 3 hari berturut-turut. Tiga hari berturut-turut tersebut yakni,
tanggal 12, 13, dan 14 pada bulan lima.
Pelaksanaan
upacara asean taon biasanya dihadiri oleh wakil
dari tiap bius, parbaringin, pangubolon dan anggota masyarakat bius
setempat. Dan yang peling terpenting adalah kehadiran
Sisingamangaraja di acara itu, karena
beliaulah yang mewakili masyarakat umum untuk mempersembahkan
sesaji sekaligus memimpin upacara asean taon.[25]
E.
Interaksi Kepercayaan Orang Batak dengan Agama-agama Lain
1.
Hubungan kekerabatan
Kekerabatan
adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua
bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak
ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan
(genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si
Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan
berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu)
maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah
dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah
Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak
sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat
berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.[26]
Tarombo Batak
adalah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku Batak.[27]
Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui
silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan terkhusus dalam falsafah
Dalihan Natolu. Tarombo si Raja Batak (silsilah garis keturunan suku bangsa
Batak) dimulai dari seorang individu bernama Raja Batak.
Si Raja Batak
mempunyai 2 orang putra, yaitu:
a)
Guru Tatea Bulan menikah dengan Si Boru Baso
Burning dan memperoleh
5 orang putra dan 4 orang putri, yaitu :[28]
1) Putra
Ø Raja Uti (atau
sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng), tanpa keturunan
Ø Tuan Sariburaja
(keturunannya Pasaribu). Saribu Raja
mempunyai 2 (dua) orang putra yang dilahirkan oleh 2 (dua) istri. Istri pertama
Saribu Raja adalah Siboru Pareme yang melahirkan Raja Lontung dan
istri kedua Saribu Raja adalah Nai Mangiring Laut yang melahirkan Raja Borbor. Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) orang putra, yaitu:
ü Sinaga,
menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangnya
ü Situmorang,
menurunkan marga Situmorang dan cabang-cabangnya
ü Pandiangan,
menurunkan Perhutala dan Raja Humirtap, Raja Sonang (Toga Gultom, Toga Samosir,
Toga Pakpahan, Toga Sitinjak) dan cabang-cabangnya.
ü Nainggolan,
menurunkan marga Nainggolan dan cabang-cabangnya anatara lain Lumban Nahor,
Batuara, Parhusip, Lumban raja.
ü Simatupang,
menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan Siburian
ü Aritonang,
menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk, dan Simaremare.
ü Siregar,
menurunkan marga Siregar Silo (Sormin), Dongoran, Silali, dan Sianggian.
Keturunan Raja Borbor
membentuk rumpun persatuan yang disebut dengan Borbor yang terdiri dari marga
Pasaribu, Batubara, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran,
Saruksuk, Lubis, Pulungan, Hutasuhut, Tanjung serta Daulay. Sementara, waktu
Nai Mangiring masih hidup, dia dan adik-ipar (adik-adik Sariburaja),
Limbongmulana, Sagala Raja dan Silau Raja membuat suatu ikatan perjanjian yang
disebut "padan" yang menyatakan bahwa "pomparan" mereka
semua, seterusnya disebut dengan "Borbor Marsada".[29]
Ø Limbong Mulana (keturunannya
Limbong)
Ø Sagala Raja
(keturunannya Sagala)
Ø Silau Raja
(keturunannnya Malau, Manik, Ambarita dan Gurning)
2) Putri
Ø Si Boru Pareme
(menikah dengan Tuan Sariburaja, ibotona)
Ø Si Boru Anting
Sabungan, menikah dengan Tuan Sorimangaraja, putra Raja Isombaon
Ø Si Boru Biding
Laut, (Diyakini sebagai Nyi Roro Kidul)
Ø Si Boru Nan
Tinjo (tidak menikah).
b)
Raja Isombaon
2. Interaksi dengan Agama Lain
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa ada beberapa ajaran bahkan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Batak setelah agama lain masuk yakni,
Hindu-Buddha, Kristen, Islam ke Nusantara.
a)
Interaksi dengan agama Hindu-Buddha
Semua ahli sepakat bahwa pengaruh Hindu dan Buddha ada pada kultur Batak. Pengaruh peradaban India cukup mendalam pada peradaban Batak. Berikut merupakan hasil interaksi dari kepercayaan agama Malim dengan agama Hindu-Buddha teks-teks
ritus dalam pustaha, prakatek magis/ yang berhubungan dengan keagmaan contoh,sebelum Hindu-Buddha
datang ke Nusantara, agama Malim menyembah arwah leluhur. Namun setelah Hindu-Buddha datang konsep tersebut berubah menjadi menyembah kepada Dewa yakni Debata
Mulajadi Nabolon. Interaksi selanjutnya yaitu
penyempurnaan sistem lokal, pembagian
kelas berdasarkan keturunan marga, dan lain sebagainya.
b)
Interaksi dengan agama Kisten
Dalam agama Malim terdapat kepercayaan terhadap Debata Na Tolu, yakni percaya kepada tiga dewa yaitu, Bataraguru, Sorisohaliapan, dan Balabulan. [30]Itu
merupakan interaksi dengan agama Kristen dan juga agama Buddha, yang kita kenal dengan
ajaran Tritunggal dan juga Trimurti. Dan masih banyak lagi interaksi-interaksi lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah pemaparan yang telah dipaparkan oleh pemakalah, maka dapat kita
simpulkan bahwa:
1. Agama Malim merupakan salah satu agama yang
terdapat dalam suku Batak, mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yakni
Deabata Mulajadi Nabolon. Awalnya agama Malim percaya kepada roh leluhur lalu
kepada benda-benda mati. Dan setelah berinteraksi dengan agama lain maka parmalim
percaya kepada dewa-dewa.
2. Terdapat beberapa dewa-dewa yang telah
diutus oleh Debata dan itu dipercayai dan diyakini oleh parmalim
diantaranya si pemilik Kerajaan Malim di Banua Ginjang (Debata Mulajadi
Nabolon, Debata Na Tolu, Si Boru Deakparujar, Nagapadohaniaji, dan Si Boru
Saniangnaga), si pemilik Kerajaan Malim di Banua Tonga (Raja Uti, Tuhan
Simarimbulubosi, Raja Na Opat Puluh Opat, Raja Sisingamangaraja, dan Raja
Nasiakbagi), Habonaran, Sahala dan lain sebagainya
3. Terdapat beberapa ajaran dan juga ritual
keagamaan yang terdapat dalam agama Malim, setiap ajaran akan diamalkan oleh parmalim,
sedangkan untuk ritual keagamaan banyak beberapa macam. Seperti ritual sembahyang,
korban dan lain-lain, sedangkan untuk ritual adat yaitu kelahiran, kematian,
pensucian diri dan sebagainya, yang dimana itu semua sudah diatur tata cara
pelaksanaanya.
4. Ada beberapa ajaran bahkan kepercayaan yang
berubah akibat dari interaksi dengan agama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Gultom, Ibrahim. Agama
Malim: di Tanah Batak, Jakarta:
PT Bumi Aksara. 2010. Cet. I
Hasibuan, Jamaludin
S. Seni Budaya Batak. Jakarta:
PT Jayakarta Agung Offset. 1885
Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2015
Mufid, Ahmad
Syafi’I (ed). Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal Indonesia.
Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan. 2012
Nainggolan, Togar. Batak Toba di Jakarta. Medan: Bina Media. 2006
Neng Darol Afia (ed). Tradisi Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama Departmen Agama RI, 1999
Sihombing, T.M. Filsafat Batak. Jakarta: Balai Pustaka. 1986
Diakses
pada tanggal 14 Maret 2016 http://tunasteologi.blogspot.co.id/2015/07/resensi-buku-oleh-beriyanti.html
Diakses pada tanggal 07 April 2016 dari http://okahutabarat.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-agam-di-tanah-batak/
Diakses pada tanggal 07 April 2016 http://domu-ambarita.blogspot.co.id/2008/04/silsilah-atau-tarombo-batak.html?m=1
[1] Ahmad
Syafi’I Mufid (ed), Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal
Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h. 11
[3] Tiga tahap
imigran sampai ke Tanah Batak, yaitu: Tahap pertama adalah
mendarat di Pulai Nias, Mentawai, Siberut, dan
lain-lain, tahap kedua yakni mendarat di di muara sungai
Simpang, dan tahap yang terakhir mendarat di sungai
Sorkam. Dari sanalah mereka memasuki
pegunungan sehingga sampai di Danau Toba dan menetap di kaki gunung Pusuk Bukit
(Lihat Ibrahim Gultom, Agama Malim, h. 32).
[4] Diakses pada tanggal 14 Maret 2016 http://tunasteologi.blogspot.co.id/2015/07/resensi-buku-oleh-beriyanti.html
[6] Jamaludin
S. Hasibuan, Seni Budaya Batak, (Jakarta:
PT Jayakarta Agung Offset, 1885), h. 249-252
[7] Diakses pada tanggal 07 April 2016 dari http://okahutabarat.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-agam-di-tanah-batak/
[10] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa
di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 63
[14] Neng Darol Afia (ed), Tradisi Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departmen Agama RI, 1999), h. 97
[17] Dalam agama Malim terdapat cara memperoleh pengampunan bagi orang yang melalukan dosa. Untuk yang melakukan dosa
kecil, orang tersebut harus menebus dosa (manopoti dosa) dengan
cara memohon pengampunan dosa pada saat upacara keagamaan sambil berjanji untuk
bertobat. Dan bagi orang yang melakukan dosa besar seperti membunuh, tidak
cukup dengan ucapan biasa, melainkan dengan cara menebus dosa melalui upacara
keagamaan khusus yang disebut dengan mardebata. (Lihat Ibrahim Gultom, Agama Malim, h. 204).
[23] Dalam hal ini terdapat beberapa kategori. Untuk kategori pertama yakni,
bagi orang yang baru masuk agama Malim, ada syarat-syarat tertentu yaitu wajib
menyediakan uang sebanyak dua rupiah dan
kain putih sebanyak tujuh hasta. Sedangkan untuk kategori yang kedua
yakni orang yang murtad harus
menyediakan uang empat rupiah dengan dua macam kain yang disebut dengan ulos
jugia so pipot dan suri-suri
pandapotan, itu semua merupakan syarat adat. (Lihat Ibrahim gultom,
Agama Malim, h. 308)
[25] Asean taon merupakan nama lain dari sipaha sada, asean taon sudah ada
sejak agama Malim belum resmi ada. Upacara ini juga biasa disebut dengan upacara bius. (Lihat Ibrahim ultom, Agama Malim, h. 288).
[28] Diakses pada tanggal 07 April 2016 http://domu-ambarita.blogspot.co.id/2008/04/silsilah-atau-tarombo-batak.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar