Kamis, 19 Mei 2016

Suku Sumba


Suku Marapu

A.    Lokasi


sumber:



Dalam peta, pulau Sumba bagaikan sebuah atol di tengah lautan dengan karakteristik kehidupan yang begitu spesifik dan unik. Keunikannya, karena pulau Sumba terkenal dengan ragam atraksi kesenian, upacara adat dan kampung adat yang sangat spesifik dengan kuburan batu dan menhir peninggalan zaman megalitikum.
Dahulu Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau Cendana, karena merupakan pulau penghasil kayu cendana terbesar. Namun sekarang telah punah karena pembabatan besar-besaran pada masa lampau.
Secara topografi pulau Sumba terdiri dari tebaran perbukitan dataran rendah yang landai dan bertingkat-tingkat. Wilayahnya yang beramplitudo suhu yang tinggi mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam baik terhadap tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang dapat hidup dalam kondisi demikian. Oleh karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa dan aren; sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi dan kuda sesuai dengan keadaan alam Sumba yang berpadang savana luas.
Atau pada 10 LS dan 120 BT, tepatnya di Tenggara Pulau Bali, sebelah selatan Pulau Flores, di sebelah barat daya Pulau Timor, di sebelah barat laut Darwin — Australia. Sebagai sebuah pulau, Pulau Sumba merupakan salah satu dari 3 pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Pulau Flores, Timor dan Sumba.[1]

B.     Asal Usul dan Kepercayaan Suku Marapu
Penduduk Pulau Sumba menyebut pulau mereka dengan nama tanda humba yang berarti tanah Sumba. Menurut tradisi Sumba nama ini berasal dari nama isteri nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba yaitu humba. Nama suaminya adalah umbu walu mandoku. Umbu Walu Mandoku mengabadaikan nama isterinya bagi pulau ini sebagai tanda kegembiraan dan cinta kasihnya kepada isterinya setelah mereka mengarungi lautan dalam kurun waktu yang cukup lama.  Menurut sejarah orang sumba merupakan kaum imigran yang datang dalam beberapa gelombang serta memasuki sumba melalui tanjung sasar dan muara sungai Pandawai kemudian menyebar keseluruh pulau sumba. Pada umumnya pola penyebarannya berdasarkan klan-klan  (kabihu) yang bersaudara dan biasanya terdiri dari 4 klan. Ditempat yang baru mereka mendirikan tempat pemukiman yang disebut Paraingu (kampung). Paraingu mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat sumba.  Di sanalah mereka berdiam, dan di sanalah adat istiadat ritus-ritus keagamaan diselenggarakan. Paraingu merupakan salah satu bentuk ikatan persekutuan masyarakat Sumba dan bentuk ikatan persekutuan lainnya adalah persekutuan klan (kabihu).[2]
Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara (hukum dan tata cara) yang telah ditetapkan oleh para leluhur.
Menurut kepercayaan, terdapat dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa).Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa’’. Ndiawa juga ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula.[3]

C.    Adat Istiadat



1.      Pakaian
Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.[4]
2.      Rumah Adat
Rumah tradisional di Sumba Barat pada umumnya adalah rumah-rumah besar, rumah tersebut didirikan di atas tiang, dengan lantai panggung yang tingginya kira-kira 2 meter di atas tanah. Denah rumah (umma) berbentuk bujur sangkar, yang luasnya tergantung dari pentingnya rumah dan kemampuan mereka yang mendiaminya.
Rumah memiliki 4 buah tiang utama, untuk keempat buah tiang ini menggunakan jenis kayu khusus. Ruang di antara empat tiang utama tersebut dipakai sebagai dapur (ra’buka) dengan empat sampai sepuluh tungku api yang terdiri dari tiga buah batu. Loteng di atas dapur yang dinamakan umma ‘dana, dipakai untuk menyimpan barang-barang pusaka leluhur atau hasil panen. Tempat ini merupakan tempat suci dan tidak sembarang orang memasukinya. Dapur tidak berdinding, jadi terbuka dari segala arah. Pada umma kazoza kelompok masyarakat (kabizu) Mbu Karegha, tiang agung utama itu dari kayu khusus kazoza, jenis kayu ini ringan, kuat dan bertekstur halus (seperti bunga-bunga). Umur kayu pada saat ditebang berusia paling kurang satu abad. Dari keempat tiang utama, yang terpenting adalah "Pari'i mata marapu". Fungsi sebagai tiang penyembahan ; tanda kehadiran leluhur-dewa merupakan tangga turun naiknya yang disembah. Melalui tiang ini manusia dapat berhubungan dengan leluhur. Tiang ini tidak boleh berasal dari kayu lain, harus dari jenis kazoza Sebuah perkampungan harus mempunyai pintu masuk (‘bina tama) dan pintu keluar (‘bina louza) pada teritori yang dikelilingi pagar batu setinggi 2 meter.
Perkampungan orang Sumba biasanya berada di atas bukit yang di susun rapi tanpa bahan perekat. Fungsi pagar adalah sebagai pertahanan keamanan, karena dahulu kala sering terjadi perseteruan/peperangan atar suku/kabizu. Perkampungan Sumba Barat tertata dengan pagar di kelilingi pohon. Pengaturan pagar tidak dilakukan secara sembarangan dimana disetiap pintu didirikan sebuah batu yang sudah dimandikan dengan darah hewan kurban untuk marapu penjaga pintu (marapu ‘bina) dan di tengah kampung terdapat halaman suci (natara poddu) yang dalam bahasa daerah disebut "kalele wulla barri-mata rawu bisa" (lingkaran bulan yang suci, mata tertutup yang sakral). Umumnya perkampungan tradisional adat Sumba itu berada di punggung bukik. Di dalam kampung terdapat tempat-tempat yang menunjukkan bagaimana konsepsi kewilayahan dan ruang privat terbentuk. Ada yang hubungannya dengan pemujaan seperti natara (halaman), marapu wanno (dewa kampung), marapu ‘bina (dewa pintu), katoada (tugu perang), dan kububu (kuil). Di natara ‘podu biasanya digelar upacara rumah atau khususnya "tengi watu" ( menarik batu kubur) dan sebagainya.
Di marapu wanno/marapu ‘bina (dewa kampung dan dewa pintu) dilakukan upacara pemujaan seperti 'kaina zala diraka' (mengeluarkan dosa dan pencemaran seperti perselingkuhan), 'kazakana kapore' (mengusir ' penyakit seperti demam, batuk, pilek, dan sebagainya), kazakana malagho (seperti mengusir hama tikus) konsepsi keamanan dipertegas dengan dipujanya marapu pada katoada dan kabubu yaitu tugu perang dan kuil yang juga menjadi pusat upacara-upacara khusus. Demikianlah di negeri marapu Sumba Barat, keberadaan marapu selalu mengikuti proses pembentukan ruang.[5]

D.    Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Sumba Barat Daya mengatur sistem kekerabatan patrilinel, bahwa garis keturunan berada di seorang ayah.dengan demikian segalah kekuasaan ada pada seorang ayah.Masyarakat Sumba Barat Daya memiliki mata pencaharian hidup bertani dan berternak.Perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan harus berbeda kabissu (suku).Masyarakat Sumba Barat Daya beragam bahasa dalam komunikasi.dalam satu kecamatan berbeda dengan bahasa kecamatan lain.[6]

E.     Upacara-Upacara Suku Marapu
1.      Upacara Keagamaan
Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, manusia harus melaksanakan berbagai upacara.
Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat. Oleh karena itu, tempat-tempat upacara, saat pelaksanaan, alat-alat upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Pada setiap upacara keagamaan, berbagai bentuk kesenian biasanya juga ditampilkan dan menjadi pengiring bagi religi mereka.
a)      Pemujaan
1)      Benda-benda keramat
Kehadiran para Marapu di dunia nyata diwakili lambang-lambang suci yang berupa perhiasan emas atau perak (terkadang berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang kebesaran dan kehadiran Umbu Endalu ialah sebuah perhiasan mas dengan panjang 8 cm dan bergaris tengah 12 mm . Selain itu terdapat pula dua buah guci yang disebut mbalu rara-kihi muru (guci merah dan hijau). Guci merah melambangkan bumi, sedangkan guci hijau melambangkan langit. Ketika dilakukan upacara wunda lii hunggu-lii maraku (upacara persembahan kepada Umbu Endalu yang diselenggarakan delapan tahun sekali), guci hijau digunakan untuk menimba air di sungai yang kemudian air itu ditumpahkan ke dalam guci merah yang selalu tetap berada di tempatnya. Air yang ditumpahkan dari guci hijau ke guci merah adalah lambang hujan. Apabila air yang ditumpahkan itu berlebihan, maka hal itu pertanda akan dilimpahi banyak hujan. Sebaliknya apabila ternyata air yang ditumpahkan itu tidak memenuhi guci merah, maka pertanda akan kekurangan hujan. Kini kedua guci tersebut sudah tidak ada lagi.
Berdasarkan fungsinya. benda-benda keramat itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu benda-benda upacara dan alat-alat upacara. Benda-benda upacara dijadikan obyek pemujaan, karena dianggap sebagai lambang yang mewakili para marapu. Sedangkan alat-alat upacara tidak dijadikan obyek pemujaan. Walaupun demikian, alat-alat itu dianggap keramat pula karena telah lama digunakan sebagai alat pemujaan
Benda-benda upacara yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan:
Tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas loteng), yaitu benda-benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuh benda-benda itu kecuali ratu dan paratu. Menurut kepercayaan, roh-roh leluhur ada di dalam benda-benda itu (biasanya terbuat dan emas) sehingga dianggap sebagai marapu itu sendiri.
Tanggu marapu la kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu marapu golongan ini merupakan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh suatu kabihu dan tidak sekeramat tanggu marapu la hindi. Tanggu marapu la kaheli ini antara lain berupa perhiasan—perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading, kalung manik-manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya.
Adapun alat-alat upacara antara lain berupa wadah-wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah, tali dan kendali kuda.
b)      Tempat pemujaan
1)      Uma bokulu
Lambang-lambang suci disimpan di Pangiangu Marapu (kediaman Marapu), yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Khusus untuk Marapu Umbu Endalu di Umalulu dibuat tempat persemayaman tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu yang disebut Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu. Selain Uma Bokulu, rumah-rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara pemujaan terhadap marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain.
Uma karambua ialah tempat memuja leluhur untuk meminta kekayaan. Uma andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta keberhasilan dalam peperangan. Uma payenu ialah tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru. Uma pakilungu ialah tempat memuja leluhur untuk menolak bahaya penyakit. Uma menggitu ialah tempat memuja leluhur untuk mengundang arwah-arwah yang berada di hutan-hutan atau di gua-gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh. Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta kekuatan, keberanian dan kekebalan
Kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung.
Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia. Oleh karena itu, rumah pemujaan tersebut diberi nama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang), yang dalam luluku (bahasa puisi berbait) disebut Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan masyarakat Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara fisik rumah itu terlihat kecil, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan.
Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan adalah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya.
2)      Katuada
Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada merupakan tempat upacara pemujaan berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa serta sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Batu pipih tersebut merupakan tempat untuk meletakkan bermacam-macam sesaji kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu, antara lain berupa pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas), dan uhu mangejingu (nasi kebuli). Katuada ini ada bermacam-macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu:
Katuada kawindu (tugu halaman), tugu sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap rumah. Pada tugu inilah tiap-tiap keluarga batih melakukan upacara pemujaan kepada dewa-dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini pula para marapu dari luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah, dan sebaliknya para marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada upacara di luar rumah.
Katuada paraingu ( tugu kampung ), tugu sembahyang yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat upacara yang meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku, misalnya pada upacara hiri paraingu, puru la manangu dan pamangu langu paraingu.
Katuada pindu (tugu pintu), tugu sembahyang yang dipancang di pintu kampung dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak para marapu dan para arwah lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian pula sebaliknya.
Ketuada padangu (tugu padang), tempat melakukan upacara sembahyang di padang rumput untuk meminta agar hewan ternak berkembang biak dengan baik.
Katuada wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala kebun) dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana.
Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan hasil tanaman di sawah.
Katuada padira tana (tugu batas tanah), tempat mengulpulkan arwah-arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak mengganggu tanaman dalam kebun itu.
Katuada bungguru (tugu persekutuan) , tempat upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan, yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada Mawulu Tau — Majii Tau, para marapu dan para arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil panen yang baik.
Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat upacara sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah-arwah yang berada di tempat perburuan menolak segala bahaya dan memberikan hasil buruan seperti yang diharapkan.
Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang yang dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik. Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu tanangu (tuan tanah).
Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada juga, tapi karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu padi), yaitu tugu tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu tugu tempat memancangkan kepala-kepala manusia yang berhasil di penggal dalam peperangan. Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai kewajiban untuk keperluan tersebut.
Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu timbunan batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu — Mata Lodu (ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini dilakukan ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara pemujaan dan persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap-tiap kabihu diberi perlindungan dan kemakmuran.[7]
2.      Upacara Adat
a)      Upacara Kehamilan dan Kelahiran
Pada saat sekitar kelahiran seorang bayi, ada beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua dan kaum kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan upacara Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku dan mangejingu kepada para marapu dan Ndiawa Tumbu — Ndiawa Dedi (Dewa Tumbuh dan Lahir) agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk mencegah adanya kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat jahat, seorang wanita yang sedang hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya.
Bila saat kelahiran telah tiba dilakukanlah upacara Hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu untuk menyambut tamu yang baru datang dari alam gaib. Menurut anggapan orang Umalulu, ana rara (bayi) yang akan lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu). Oleh karena itu , untuk melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya harus diakui dan segala kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu harus dinyatakan. Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan lagi upacara Hamayangu baha kaheli untuk membersihkan segala kekotoran dan menghaturkan terima kasih kepada para marapu. [8]

F.     Interaksi dengan Masyarakat Asing
Dalam perkembangannya, masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun, pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Penyebaran agama Kristen sudah dilakukan sejak tahun 1881, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dan tidak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat memengaruhi masyarakat untuk beralih agama. Sekolah-sekolah pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school. Namun, usaha-uasaha tersebut tidak mendapat hasil yang memuaskan.
Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu. Semejak tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen karena tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah.



[2] Diakses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://irnaruku7.blogspot.co.id/2016/04/tugas-merapu.html
[3] Diakses pada tanggal 20 Mei 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu
[4] Diakses pada tanggal 20 Mei 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba
[6] Diakses pada tanggal 10 Juni 2016 dari http://yubilate.blogspot.co.id/
[7] Diakses pada tanggal 10 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu
[8] Diakses pada tanggal 19 Mei 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu

1 komentar:

  1. Caesars Palace casino reopening to public Wednesday - Dr.
    Caesars Palace 김해 출장마사지 casino reopening to public Wednesday Caesars Palace casino reopening to public 대구광역 출장마사지 Wednesday. 영천 출장샵 (Photo: Google 제주도 출장샵 Maps). 양산 출장안마

    BalasHapus