Suku Marapu
A.
Lokasi
sumber:
Dalam
peta, pulau Sumba bagaikan sebuah atol di tengah lautan dengan karakteristik
kehidupan yang begitu spesifik dan unik. Keunikannya, karena pulau Sumba
terkenal dengan ragam atraksi kesenian, upacara adat dan kampung adat yang
sangat spesifik dengan kuburan batu dan menhir peninggalan zaman megalitikum.
Dahulu
Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau Cendana, karena merupakan pulau
penghasil kayu cendana terbesar. Namun sekarang telah punah karena pembabatan
besar-besaran pada masa lampau.
Secara
topografi pulau Sumba terdiri dari tebaran perbukitan dataran rendah yang
landai dan bertingkat-tingkat. Wilayahnya yang beramplitudo suhu yang tinggi
mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam
baik terhadap tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang dapat hidup dalam kondisi
demikian. Oleh karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras
seperti jati, kelapa dan aren; sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah
kerbau, sapi dan kuda sesuai dengan keadaan alam Sumba yang berpadang savana
luas.
Atau
pada 10 LS dan 120 BT, tepatnya di Tenggara Pulau Bali, sebelah selatan Pulau
Flores, di sebelah barat daya Pulau Timor, di sebelah barat laut Darwin —
Australia. Sebagai sebuah pulau, Pulau Sumba merupakan salah satu dari 3 pulau
terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Pulau Flores, Timor dan Sumba.[1]
B.
Asal Usul dan Kepercayaan Suku Marapu
Penduduk
Pulau Sumba menyebut pulau mereka dengan nama tanda humba yang berarti tanah
Sumba. Menurut tradisi Sumba nama ini berasal dari nama isteri nenek moyang
pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba yaitu humba. Nama suaminya
adalah umbu walu mandoku. Umbu Walu Mandoku mengabadaikan nama isterinya bagi
pulau ini sebagai tanda kegembiraan dan cinta kasihnya kepada isterinya setelah
mereka mengarungi lautan dalam kurun waktu yang cukup lama. Menurut sejarah orang sumba merupakan kaum
imigran yang datang dalam beberapa gelombang serta memasuki sumba melalui
tanjung sasar dan muara sungai Pandawai kemudian menyebar keseluruh pulau
sumba. Pada umumnya pola penyebarannya berdasarkan klan-klan (kabihu) yang bersaudara dan biasanya terdiri
dari 4 klan. Ditempat yang baru mereka mendirikan tempat pemukiman yang disebut
Paraingu (kampung). Paraingu mempunyai peranan penting dalam kehidupan
masyarakat sumba. Di sanalah mereka
berdiam, dan di sanalah adat istiadat ritus-ritus keagamaan diselenggarakan.
Paraingu merupakan salah satu bentuk ikatan persekutuan masyarakat Sumba dan
bentuk ikatan persekutuan lainnya adalah persekutuan klan (kabihu).[2]
Dalam
kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama
karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari
orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga)
dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala
nuku-hara (hukum dan tata cara) yang telah ditetapkan oleh para leluhur.
Menurut
kepercayaan, terdapat dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa
atau ndewa (roh suci, dewa).Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang
menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat
berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam
pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang
telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian
tersendiri dan disebut ndiawa’’. Ndiawa juga ada dalam semua makhluk hidup,
termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu
pula.[3]
C.
Adat Istiadat
1.
Pakaian
Di Sumba Timur strata
sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata
(ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak
pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini
perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa
seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana
komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama
atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Bagian terpenting dari
perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar
besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan
lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti
dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.[4]
2.
Rumah Adat
Rumah
tradisional di Sumba Barat pada umumnya adalah rumah-rumah besar, rumah
tersebut didirikan di atas tiang, dengan lantai panggung yang tingginya
kira-kira 2 meter di atas tanah. Denah rumah (umma) berbentuk bujur sangkar,
yang luasnya tergantung dari pentingnya rumah dan kemampuan mereka yang
mendiaminya.
Rumah
memiliki 4 buah tiang utama, untuk keempat buah tiang ini menggunakan jenis
kayu khusus. Ruang di antara empat tiang utama tersebut dipakai sebagai dapur
(ra’buka) dengan empat sampai sepuluh tungku api yang terdiri dari tiga buah
batu. Loteng di atas dapur yang dinamakan umma ‘dana, dipakai untuk menyimpan
barang-barang pusaka leluhur atau hasil panen. Tempat ini merupakan tempat suci
dan tidak sembarang orang memasukinya. Dapur tidak berdinding, jadi terbuka
dari segala arah. Pada umma kazoza kelompok masyarakat (kabizu) Mbu Karegha,
tiang agung utama itu dari kayu khusus kazoza, jenis kayu ini ringan, kuat dan
bertekstur halus (seperti bunga-bunga). Umur kayu pada saat ditebang berusia
paling kurang satu abad. Dari keempat tiang utama, yang terpenting adalah
"Pari'i mata marapu". Fungsi sebagai tiang penyembahan ; tanda
kehadiran leluhur-dewa merupakan tangga turun naiknya yang disembah. Melalui
tiang ini manusia dapat berhubungan dengan leluhur. Tiang ini tidak boleh
berasal dari kayu lain, harus dari jenis kazoza Sebuah perkampungan harus
mempunyai pintu masuk (‘bina tama) dan pintu keluar (‘bina louza) pada teritori
yang dikelilingi pagar batu setinggi 2 meter.
Perkampungan
orang Sumba biasanya berada di atas bukit yang di susun rapi tanpa bahan
perekat. Fungsi pagar adalah sebagai pertahanan keamanan, karena dahulu kala
sering terjadi perseteruan/peperangan atar suku/kabizu. Perkampungan Sumba
Barat tertata dengan pagar di kelilingi pohon. Pengaturan pagar tidak dilakukan
secara sembarangan dimana disetiap pintu didirikan sebuah batu yang sudah
dimandikan dengan darah hewan kurban untuk marapu penjaga pintu (marapu ‘bina)
dan di tengah kampung terdapat halaman suci (natara poddu) yang dalam bahasa
daerah disebut "kalele wulla barri-mata rawu bisa" (lingkaran bulan
yang suci, mata tertutup yang sakral). Umumnya perkampungan tradisional adat
Sumba itu berada di punggung bukik. Di dalam kampung terdapat tempat-tempat
yang menunjukkan bagaimana konsepsi kewilayahan dan ruang privat terbentuk. Ada
yang hubungannya dengan pemujaan seperti natara (halaman), marapu wanno (dewa
kampung), marapu ‘bina (dewa pintu), katoada (tugu perang), dan kububu (kuil).
Di natara ‘podu biasanya digelar upacara rumah atau khususnya "tengi
watu" ( menarik batu kubur) dan sebagainya.
Di marapu
wanno/marapu ‘bina (dewa kampung dan dewa pintu) dilakukan upacara pemujaan
seperti 'kaina zala diraka' (mengeluarkan dosa dan pencemaran seperti perselingkuhan),
'kazakana kapore' (mengusir ' penyakit seperti demam, batuk, pilek, dan
sebagainya), kazakana malagho (seperti mengusir hama tikus) konsepsi keamanan
dipertegas dengan dipujanya marapu pada katoada dan kabubu yaitu tugu perang
dan kuil yang juga menjadi pusat upacara-upacara khusus. Demikianlah di negeri
marapu Sumba Barat, keberadaan marapu selalu mengikuti proses pembentukan ruang.[5]
D.
Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat
Sumba Barat Daya mengatur sistem kekerabatan patrilinel, bahwa garis keturunan
berada di seorang ayah.dengan demikian segalah kekuasaan ada pada seorang
ayah.Masyarakat Sumba Barat Daya memiliki mata pencaharian hidup bertani dan
berternak.Perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan harus berbeda
kabissu (suku).Masyarakat Sumba Barat Daya beragam bahasa dalam
komunikasi.dalam satu kecamatan berbeda dengan bahasa kecamatan lain.[6]
E.
Upacara-Upacara Suku Marapu
1.
Upacara
Keagamaan
Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat
mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa
para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang berani
melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan
antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan
ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam
sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, manusia harus
melaksanakan berbagai upacara.
Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap
suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara
harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan
waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda
wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba
ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak
dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara
keagamaan biasanya dilaksanakan. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu
dianggap keramat. Oleh karena itu, tempat-tempat upacara, saat pelaksanaan,
alat-alat upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat
pula. Pada setiap upacara keagamaan, berbagai bentuk kesenian biasanya juga
ditampilkan dan menjadi pengiring bagi religi mereka.
a)
Pemujaan
1)
Benda-benda keramat
Kehadiran para Marapu di dunia nyata diwakili
lambang-lambang suci yang berupa perhiasan emas atau perak (terkadang berupa
patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang kebesaran dan
kehadiran Umbu Endalu ialah sebuah perhiasan mas dengan panjang 8 cm dan
bergaris tengah 12 mm . Selain itu terdapat pula dua buah guci yang disebut
mbalu rara-kihi muru (guci merah dan hijau). Guci merah melambangkan bumi,
sedangkan guci hijau melambangkan langit. Ketika dilakukan upacara wunda lii
hunggu-lii maraku (upacara persembahan kepada Umbu Endalu yang diselenggarakan
delapan tahun sekali), guci hijau digunakan untuk menimba air di sungai yang
kemudian air itu ditumpahkan ke dalam guci merah yang selalu tetap berada di
tempatnya. Air yang ditumpahkan dari guci hijau ke guci merah adalah lambang
hujan. Apabila air yang ditumpahkan itu berlebihan, maka hal itu pertanda akan
dilimpahi banyak hujan. Sebaliknya apabila ternyata air yang ditumpahkan itu
tidak memenuhi guci merah, maka pertanda akan kekurangan hujan. Kini kedua guci
tersebut sudah tidak ada lagi.
Berdasarkan fungsinya. benda-benda keramat itu dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu benda-benda upacara dan alat-alat upacara.
Benda-benda upacara dijadikan obyek pemujaan, karena dianggap sebagai lambang
yang mewakili para marapu. Sedangkan alat-alat upacara tidak dijadikan obyek
pemujaan. Walaupun demikian, alat-alat itu dianggap keramat pula karena telah
lama digunakan sebagai alat pemujaan
Benda-benda upacara yang dikeramatkan itu disebut tanggu
marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan:
Tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas loteng),
yaitu benda-benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun boleh
menyentuh benda-benda itu kecuali ratu dan paratu. Menurut kepercayaan, roh-roh
leluhur ada di dalam benda-benda itu (biasanya terbuat dan emas) sehingga
dianggap sebagai marapu itu sendiri.
Tanggu marapu la kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu
marapu golongan ini merupakan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh suatu
kabihu dan tidak sekeramat tanggu marapu la hindi. Tanggu marapu la kaheli ini
antara lain berupa perhiasan—perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading,
kalung manik-manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya.
Adapun alat-alat upacara antara lain berupa wadah-wadah
yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau
perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah,
tali dan kendali kuda.
b) Tempat
pemujaan
1)
Uma bokulu
Lambang-lambang suci
disimpan di Pangiangu Marapu (kediaman Marapu), yaitu di bagian atas
dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu.
Khusus untuk Marapu Umbu Endalu di Umalulu
dibuat tempat persemayaman tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu
yang disebut Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu. Selain Uma Bokulu,
rumah-rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara pemujaan terhadap
marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain.
Uma karambua ialah tempat memuja leluhur
untuk meminta kekayaan. Uma andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta
keberhasilan dalam peperangan. Uma payenu ialah tempat memuja leluhur untuk
memohon berkat bagi setiap pengantin baru. Uma pakilungu ialah tempat memuja
leluhur untuk menolak bahaya penyakit. Uma menggitu ialah tempat memuja leluhur
untuk mengundang arwah-arwah yang berada di hutan-hutan atau di gua-gua agar
turut serta dalam mengalahkan musuh. Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk
meminta kekuatan, keberanian dan kekebalan
Kehidupan masyarakat
pedesaan di Umalulu
berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu
perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya.
Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang
disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan
kuataku disamakan dengan kampung.
Di dalam suatu paraingu
biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur).
Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu
rumah kecil yang tidak dihuni manusia. Oleh karena itu, rumah pemujaan tersebut
diberi nama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang), yang dalam luluku
(bahasa puisi berbait) disebut Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu
(rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan
masyarakat Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara
fisik rumah itu terlihat kecil, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya
merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam
rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan.
Rumah permujaan Uma
Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena
atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena
untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara
yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma
kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku
(menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua
(pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Bahan-bahan yang digunakan
untuk membangun rumah pemujaan adalah kayu ndai linga atau ai nitu
(cendana) yang digunakan
untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas
buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa),
tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan
tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka
dan sekitarnya.
2)
Katuada
Tempat upacara pemujaan kepada para marapu
bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada.
Katuada merupakan tempat upacara pemujaan berupa tugu (semacam lingga-yoni)
yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa serta
sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Batu pipih tersebut merupakan tempat untuk
meletakkan bermacam-macam sesaji kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang
berada di tempat itu, antara lain berupa pahapa (sirih pinang), kawadaku
(keratan mas), dan uhu mangejingu (nasi kebuli). Katuada
ini ada bermacam-macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu:
Katuada kawindu (tugu halaman), tugu
sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap rumah. Pada tugu inilah
tiap-tiap keluarga batih melakukan upacara pemujaan kepada dewa-dewi agar
dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini pula para marapu dari
luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah, dan sebaliknya para
marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada upacara di luar
rumah.
Katuada paraingu ( tugu kampung ), tugu
sembahyang yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat
upacara yang meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku,
misalnya pada upacara hiri paraingu, puru la manangu dan pamangu langu
paraingu.
Katuada pindu (tugu pintu), tugu sembahyang
yang dipancang di pintu kampung dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk
menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak
para marapu dan para arwah lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara.
Demikian pula sebaliknya.
Ketuada padangu (tugu padang), tempat
melakukan upacara sembahyang di padang rumput untuk meminta agar hewan ternak
berkembang biak dengan baik.
Katuada wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang
yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala kebun) dan merupakan tempat upacara
sembahyang untuk minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana.
Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang
yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke
sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan
hasil tanaman di sawah.
Katuada padira tana (tugu batas tanah),
tempat mengulpulkan arwah-arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak
mengganggu tanaman dalam kebun itu.
Katuada bungguru (tugu persekutuan) , tempat
upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan,
yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada Mawulu Tau — Majii Tau, para marapu
dan para arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil
panen yang baik.
Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat
upacara sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah-arwah
yang berada di tempat perburuan menolak segala bahaya dan memberikan hasil
buruan seperti yang diharapkan.
Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang
yang dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon
kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik.
Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu
tanangu (tuan tanah).
Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada
juga, tapi karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka
disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu
padi), yaitu tugu tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di
rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu
tugu tempat memancangkan kepala-kepala manusia yang berhasil di penggal dalam
peperangan. Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai
kewajiban untuk keperluan tersebut.
Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu
timbunan batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat
upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu —
Mata Lodu (ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini
dilakukan ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara
pemujaan dan persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap-tiap kabihu
diberi perlindungan dan kemakmuran.[7]
2.
Upacara
Adat
a)
Upacara
Kehamilan dan Kelahiran
Pada saat sekitar kelahiran seorang
bayi, ada beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua
dan kaum kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan
upacara Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa,
kewadaku dan mangejingu kepada para marapu dan Ndiawa Tumbu — Ndiawa Dedi (Dewa
Tumbuh dan Lahir) agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk
mencegah adanya kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat jahat, seorang wanita yang
sedang hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya.
Bila saat kelahiran telah tiba
dilakukanlah upacara Hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan
mangejingu untuk menyambut tamu yang baru datang dari alam gaib. Menurut
anggapan orang Umalulu, ana rara (bayi) yang akan lahir adalah makhluk gaib
yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu). Oleh karena itu , untuk
melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya harus diakui dan segala
kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu harus dinyatakan.
Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan
lagi upacara Hamayangu baha kaheli untuk membersihkan segala kekotoran dan
menghaturkan terima kasih kepada para marapu. [8]
F. Interaksi dengan Masyarakat Asing
Dalam perkembangannya, masyarakat Sumba
pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu
Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun,
pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang
keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam
yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja.
Penyebaran agama Kristen sudah dilakukan sejak tahun 1881, tapi pengaruhnya
hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dan tidak
begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat memengaruhi
masyarakat untuk beralih agama. Sekolah-sekolah
pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota
kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school.
Namun, usaha-uasaha tersebut tidak mendapat hasil yang memuaskan.
Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari
seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama
Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu. Semejak
tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai alasan
sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen karena tidak
melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat
menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus)
bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu
dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka
dapat bersekolah.
[1] Diakses pada
tanggal 10 Juni 2016 dari http://budaya-indonesia-sekarang.blogspot.co.id/2010/10/bumi-marapu.html
[2] Diakses pada
tanggal 20 Mei 2016 dari http://irnaruku7.blogspot.co.id/2016/04/tugas-merapu.html
[3] Diakses pada tanggal 20 Mei 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu
[4] Diakses pada
tanggal 20 Mei 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba
[5] Diakses pada
tanggal 10 Juni 2016 dari http://www.kompasiana.com/delupingge/konsep-kehidupan-dan-kematian-menurut-agama-marapu_54f3b172745513982b6c7ecf
[6] Diakses pada
tanggal 10 Juni 2016 dari http://yubilate.blogspot.co.id/
[7] Diakses pada
tanggal 10 Juni 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu
[8] Diakses pada tanggal 19 Mei 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu
Caesars Palace casino reopening to public Wednesday - Dr.
BalasHapusCaesars Palace 김해 출장마사지 casino reopening to public Wednesday Caesars Palace casino reopening to public 대구광역 출장마사지 Wednesday. 영천 출장샵 (Photo: Google 제주도 출장샵 Maps). 양산 출장안마